Selasa, 10 Maret 2009

Tradisi Lisan "ROYONG" dalam Masyarakat Makassar

Sastra lisan yang banyak tersebar di Nusantara menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia yang senantiasa harus dilestarikan dan kembangkan. Sastra lisan tersebut telah membuktikan dirinya sebagai media sekaligus sebagai guru masyarakat yang memberikan pengajaran etika dan moral kepada masyarakat pendukungnya. Tuturan-tuturan tersebut telah ikut membentuk kepribadian manusia-manusia Indonesia menjadi kuat dan tangguh.
Demikian halnya di Sulawesi Selatan khususnya dalam masyarakat Etnik Makassar yang mendiami pesisir pantai jazirah selatan Pulau Sulawesi. Masyarakat Makassar mengenal berbagai sastra Lisan baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang baik dalam bentuk prosa maupun puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik. Jenis sastra yang dituturkan selain dinamai sesuai dengan alat musik yang mengiringinya juga ia diberinama tersendiri sesuai nama sastra tersebut. Beberapa sastra prosa dinamakan sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan jalan dinyanyikan karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi diberi nama kelong yang seara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.
Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).
Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong¬¬ sekarang ini di atas 70 tahun dan hanya mewariskan kepada beberapa orang generasi muda. Hal inilah menggugah perhatian kami untuk melakukan penelitian/perekaman agar sastra lisan ini dapat dipertahankan keberlanjutannya dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakatnya dewasa ini (Solihing, 2004; 5) .
Tradisi Lisan Royong sangat terkait dengan strafifikasi sosial masyarakat etnik Makassar. Dalam masyarakat Makassar dikenal tingkatan masyararat antara lain:
1). kelas atas adalah keluarga raja yang berkuasa (Sombaya),
2). bangsawan (karaeng),
3). masyarakat biasa yang bebas dari perbudakan (Tomaradeka),
4). budak (ata).
Adapun tingkatan royong dikenal adanya:
1. Royong Bajo yang digelar untuk kalangan/ keluarga raja (sombaya), b.
2. Royong Karaeng untuk kalangan bangsawan
3. Royong Daeng untuk kalangan tomaradeka
Sementara kalangan budak tidak ditemukan jenis royong untuk kereka.

PERANAN BUDAYA SUKU/ ETNIS DALAM PEMBANGUNAN BANGSA Oleh: Shaifuddin Bahrum

Salah satu karunia besar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia adalah bangsa ini memiliki ratusan suku bangsa (etnik) yang tersebar di ribuan pulau-pulau di Nusantara. Setiap suku bangsa memiliki ciri-cirinya tersendiri yang membedakan dengan suku bangsa lainnya.
Perbedaan-perbedaan antara satu suku bangsa/ etnik dapat dijumpai antara lain dari bahasanya, tradisi dan budayanya, serta berbagai cara hidup mereka dan nilai-nilai budaya yang mereka anut. Perbedaan itu menciptakan keberagaman etnis dan budaya di Indonesia.
Keberagaman ini menciptakan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun para pendiri negara sudah mengantisipasi kondisi ini dengan membuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu), dengan satu harapan bahwa dalam keberagaman suku bangsa ini tetap terjalin persatuan di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam Kongres Nasional Pemuda Indonesia II Tahun 1928 para pemuda dari berbagai etnik di Nusantara berikrar untuk menyatukan diri di bawah nama Indonesia (berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertanah air satu; Indonesia).
Meskipun semboyan Bhineka Tunggal Ika ini pada masa Orde Baru telah disalah artikan. Kata bhineka tidak banyak diberi arti atau dimaknai. Bahkan kata keberagaman ini justru berupaya dihilangkan dengan bagi upaya. Keberagaman seolah-olah adalah sesuatu yang haran terjadi di Indonesia. Rezim Orde Baru seolah-olah menginginkan hanya ada satu warna yang bernama Indonesia. Gejala ke arah itu terlihat dalam setiap kebijakan diambil oleh pemerintah yang memandang sama semua wilayah Indonesia, juga dalam acara-acara di televisi (TVRI), dan lain-lain sebagainya.
Hal ini juga terkait dengan dunia keamanan dan stabilitas negara. Sehingga dengan demikian negara lebih banyak mengupayakan terwujudnya tunggal ika yang lebih dimaknai “menjadi satu”. Dalam mewujudkan hal tersebut maka dilakukanlah upaya untuk menghapuskan mosaik yang beraneka warga suku bangsa itu menjadi mono warna yang bernama Indonesia.
Dalam keberanekaan disadari adanya dua potensi yang dapat muncul. Potensi pertama bersifat positif, karena keberagaman dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan bersama jika semua potensi disatukan. Masing-masing suku bangsa/ etnik memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga jika kelebihannya di kumpulkan maka akan menjadi sebuah kekuatan yang besar.
Keberanekaan suku bangsa itu juga bisa menjadi potensi yang mengarah pada hal yang bersifat negatif, terutama menjadi sumber terjadinya berbagai konflik. Masing-masing etnik menonjolkan kelebihan masing-masing dan merendahkan kelompok etnik yang lain dengan mencibir berbagai kekurangannya, keadaan seperti ini disebut juga etnosentrisme. Sehingga terdapat etnik yang akan merasa superior jika dia lebih mayoritas atas etnik lain yang ada di sekitarnya yang cenderung minoritas. Konflik yang terjadi kemudian menyebabkan kerusakan dan jatuh korban jiwa.
Hal ini telah banyak terjadi beberapa tahun lalu yakni terjadinya konflik diberbagai daerah, seperti di Sambas, Kalimantan, di Ambon, konflik etnis dan agama di Poso Sulawesi Tengah, dan konflik Tionghoa di Jakarta, Solo, Makassar, dan di beberapa kota lainnya. Konflik-konflik tersebut menelan banyak kerugian harta benda dan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.

Budaya Suku Bangsa di Indonesia
Terbetuknya keberanekaan suku bangsa di Indonesia disebabkan oleh awal mula kedatangan nenek moyang Bangsa Indonesia ke Nusantara. Sebagian besar penduduk di Nusantara berasal dari ras Proto Melayu dan Mongoloid (China), namun ada pula sebagian kecil berasal dari ras Negroid. Kemudian di Nusantara mereka mengembangkan kebudayaan mereka dan menyesuaikan dengan alam dan tantangan kehidupan yang ditemuinya. Sehingga di setiap daerah menciptakan tradisi dan kebudayaannya masing-masing.
Meskipun mereka sama-sama berasal dari ras yang sama akan tetapi karena tantangan kehidupan, alam dan lingkungan yang bebeda sehingga melahirkan kebudayaan yang berbeda pula. Ada yang mendapat tantangan hidup di tepi laut, di gunung-gunung batu, di lahan-lahan yang subur, ataupun di daerah rawa-rawa. Di tempat mereka yang baru masing-masing menghadapi tantangan hidup yang berbeda, sehingga untuk menjawabnya mereka pun mencari cara yang berbeda pula. Demikian pula dalam menanggapi alamnya mereka pun melakukan dengan berbagai cara.
Meskipun serumpun orang Bugis, Makassar, Mandar, mungkin Toraja memiliki perbedaan kebudayaan dan pola kemasyarakatannya. Seperti halnya di Sumatra antara orang Aceh, Padang, Minang, dan mungkin Batak juga terdapat perbedaan-perbedaan. Di Pulau Jawa antara orang Jawa, Sunda, dan Betawi juga memiliki perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu dapat dikenali dengan mengamati perilaku/ aktifitas kehidupan mereka dalam memberikan jawaban terhadap tantangan hidupnya dan menanggapi alamnya.
Dalam perkembangan kemudian masing-masing suku bangsa yang sudah mulai terbentuk tersebut kemudian pula mendapat pengaruh dari kebudayaan luar. Mulanya mendapat pengaruh kebudayaan Hindu yang datang dari India, kemudian kebudayaan Islam yang datang dari Arab, dan kebudayaan Eropa yang dibawah oleh bangsa penjajah yang mencari rempah-rempah.
Masing masing kebudayaan tersebut meninggalkan anasir-anasir kebudayaannya dalam masyarakat di Nusantara. Kebudayaan Hindu, Islam, dan Eropa yang juga membawa agama Kristen dapat ditemukan pada suku bangsa yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hampir di seluruh Nusantara bekas kebudayaan Hindu masih dapat dijumpai hingga dewasa ini terutama pada masyarakat Jawa dan Bali. Di sana kita masih dapat menemui candi-candi dan berbagai ritual dalam penganut agama Hindu.
Kebudayaan Islam demikian pula dapat ditemukan di hampir semua pelosok Nusantara. Di mana-mana terdapat masjid dan berbagai tradisi dan ritual/ibadah menurut ajaran Islam. Demikian halnya dengan pengaruh kebudayaan Barat dan Kristen, yang biasanya dikenal sebagai pelopor kebudayaan modern.
Pesebaran pengaruh kebudayaan yang baru itu tidak merata dan terdapat spasi-spasi sehingga terbentuk suatu konfigurasi kebudayaan yang beraneka ragam dan beraneka warna. Di Pulau Bali yang kecil misalnya meskipun di sana penduduknya mayoritas beragama Hindu akan tetapi ada kampung-kampung tersendiri yang beragama Islam dan juga beragama Kristen. Terlebih lagi di pulau-pulau yang besar seperti Sulawesi, Kalimantan, Papua, Jawa, dan Sumatera.
Keberhasilan mereka untuk melangsungkan kehidupannya dan menjawab semua tantangan yang dihadapi dalam kehidupan menunjukkan setiap suku bangsa memiliki keunggulan. Sehingga semua suku bangsa yang ada di Nusantara yang dapat hidup bertahan hingga saat ini dapat disebut sebagai suku bangsa yang unggul, karena mereka bisa mengatasi berbagai tantangan hidupnya dan padat berinteraksi dengan alam secara baik. Beberapa suku bangsa yang tidak dapat mengatasi tantangan hidupnya dan tidak berhasil berinteraksi dengan alamnya terpaksa harus punah dan gagal untuk melangsungkan kehidupannya.
Bangsa yang unggul adalah suku bangsa/etnik yang mampu bertahan hidup.

Kesukubangsaan dalam Persatuan
Bangsa Indonesia sudah sejak awal terbentuknya terdiri atas ratusan atau mungkin ribuan suku bangsa. Sebagian di antaranya harus punah karena tidak mampu mempertahankan kehidupannya.
Keberagaman suku bangsa ini tidak jarang membawa konflik antaretnik atau suku bangsa. Hal ini disebabkan karena munculnya etnosentrisme pada masing-masing masyarakat budaya yang selalu menganggap dirinya yang paling baik dan paling unggul. Padahal setiap etnik yang mampu bertahan hidupnya adalah suku bangsa yang tangguh. Ketangguhan itu bukan disebabkan atau diuji oleh suku bangsa lain, tetapi oleh tantangan kehidupan dan alam. Sehingga tidak berarti suku bangsa yang memiliki jumlah pendukung terbanyak (dominan/mayoritas) harus merasa lebih unggul dari suku bangsa yang lebih sedikit (minoritas).
Etnosentrisme seperti ini akan membawa ketidaktentraman dalam kehidupan sebagai sebuah bangsa (nation) yang lebih besar. Dengan munculnya berbagai konflik antarsuku bangsa maka akan menghancurkan potensi yang ada dalam suku bangsa itu.
Hal inilah yang telah bertahun-tahun telah terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Persoalan suku bangsa selalu menonjolkan perbedaan yang dimiliki sebagai suatu hal yang tidak sewajarnya. Selain itu juga menganggap bahwa suku bangsa mayoritas adalah suku bangsa yang lebih unggul dari pada yang minoritas. Padahal bukan disitu persoalannya.

Multi Etnik dan Pembangunan Bangsa
Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki etnik yang cukup banyak seharusnya menyadari bahwa bangsa ini memiliki banyak manusia unggul di dalamnya. Kebudayaan harus dipandang secara relatif, bahwa semua kebudayaan memiliki keunggulannya masing-masing yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Dalam konfigurasi kebudayaan Indonesia ini ada suku bangsa yang unggul karena kemampuannya mengatasi tantangan hidup di laut sehingga ia dikenal sebagai suku bangsa yang gagah perkasa di laut. Tetapi ada juga suku bangsa yang unggul karena mampu menghadapi tantangan hidupnya di gunung-gunung batu atau di hutan-hutan, dan ada pula suku bangsa yang unggul menghadapi tantangan hidupnya di daerah rawa-rawa. Masing-masing etnik ini unggul di alamnya masing-masing dan belum tentu unggul jika mereka dipertukarkan ke alam yang lain.
Dengan demikian maka terlihatlah keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Hal ini harus disadari oleh masing-masing etnik bahwa mereka memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian halnya dengan etnik lainnya mereka pun pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pandangan seperti ini dalam kebudayaan disebut sebagai relativisme kebudayaan.
Menyadari relativisme ini maka sudah semestinya dibangkitkan suatu sikap hidup untuk menyatukan semua potensi unggul yang dimiliki masing-masing suku bangsa. Setiap kelebihan atau keunggulan suatu suku bangsa dijadikan suatu kekuatan bersama untuk menutupi kelemahan suku bangsa lainnya dan demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian kekuatan Bangsa Indonesia yang besar ini akan menjadi lebih unggul dengan adanya hubungan saling kerjasama dan bersatupadu.
Masing-masing etnik yang ada di Nusantara ini harus menunjukkan rasa bangga terhadap suku bangsanya karena menyadari memiliki keunggulan, namun pada saat yang bersamaan ia pun harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada suku bangsa yang lain yang juga memiliki keunggulan yang berbeda dari dirinya yang akan mengisi kekurangannya.
Berbekal kesadaran ini proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan pun akan terjadi dengan baik. Adalah bukan dosa bagi suatu kebudayaan mengadopsi kebudayaan lain untuk dia miliki sebagai kebudayaannya dan sebaliknya memberikan kebudayaan yang baik yang dimilikinya kepada kebudayaan lain untuk dimiliki pula. Saling beri dan menerima kebudayaan yang baik adalah suatu hal yang lazim terjadi dalam pergaulan kebudayaan di muka bumi ini.
Dengan kesadaran seperti ini maka setiap etnik akan menjaga dirinya dan juga menjaga etnik lain yang juga adalah bagian dari keutuhan dirinya. Jika hal ini dapat tercipta kehidupan setiap suku bangsa akan senantiasa terjaga dengan baik karena selain ia menjaga dirinya ada pihak lain yang ikut melindunginya pula.
Dengan cara berpikir dan bertindak yang demikian maka persatuan dan kesatuan bangsa ini akan terbentuk. Segala bentuk kerusuhan dan konflik akan terminimalisir perpecahan dan berbagai kerusakan akan terhindarkan. Dengan demikian pembangunan bangsa dapat berlangsung dengan baik.

Daftar Bacaan Pendukung:
- Bahrum, Shaifuddin, 2008, Berubah, Metamorfosis Masyarakat Tionghoa Makassar dalam 10 Tahun Reformasi, Baruga Nusantara, Makassar.
- Bakir Zein, Abu, 2000, Etnis Cina, dalam Potret Pembauran Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta.
- Barth Frederik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Penerbit Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
- Haviland, William, A, 1999, Antropologi (Jilid 1), Penerbit Erlangga, Jakarta.
- Salim, Agus, Dr., MS, Stratifikasi Etnik Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina, Fak. Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (UNES) dan Tiara Wacana.
- Sztompka, Piotr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Media Jakarta.



Salah satu karunia besar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia adalah bangsa ini memiliki ratusan suku bangsa (etnik) yang tersebar di ribuan pulau-pulau di Nusantara. Setiap suku bangsa memiliki ciri-cirinya tersendiri yang membedakan dengan suku bangsa lainnya.
Perbedaan-perbedaan antara satu suku bangsa/ etnik dapat dijumpai antara lain dari bahasanya, tradisi dan budayanya, serta berbagai cara hidup mereka dan nilai-nilai budaya yang mereka anut. Perbedaan itu menciptakan keberagaman etnis dan budaya di Indonesia.
Keberagaman ini menciptakan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun para pendiri negara sudah mengantisipasi kondisi ini dengan membuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu), dengan satu harapan bahwa dalam keberagaman suku bangsa ini tetap terjalin persatuan di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan dalam Kongres Nasional Pemuda Indonesia II Tahun 1928 para pemuda dari berbagai etnik di Nusantara berikrar untuk menyatukan diri di bawah nama Indonesia (berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertanah air satu; Indonesia).
Meskipun semboyan Bhineka Tunggal Ika ini pada masa Orde Baru telah disalah artikan. Kata bhineka tidak banyak diberi arti atau dimaknai. Bahkan kata keberagaman ini justru berupaya dihilangkan dengan bagi upaya. Keberagaman seolah-olah adalah sesuatu yang haran terjadi di Indonesia. Rezim Orde Baru seolah-olah menginginkan hanya ada satu warna yang bernama Indonesia. Gejala ke arah itu terlihat dalam setiap kebijakan diambil oleh pemerintah yang memandang sama semua wilayah Indonesia, juga dalam acara-acara di televisi (TVRI), dan lain-lain sebagainya.
Hal ini juga terkait dengan dunia keamanan dan stabilitas negara. Sehingga dengan demikian negara lebih banyak mengupayakan terwujudnya tunggal ika yang lebih dimaknai “menjadi satu”. Dalam mewujudkan hal tersebut maka dilakukanlah upaya untuk menghapuskan mosaik yang beraneka warga suku bangsa itu menjadi mono warna yang bernama Indonesia.
Dalam keberanekaan disadari adanya dua potensi yang dapat muncul. Potensi pertama bersifat positif, karena keberagaman dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan bersama jika semua potensi disatukan. Masing-masing suku bangsa/ etnik memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga jika kelebihannya di kumpulkan maka akan menjadi sebuah kekuatan yang besar.
Keberanekaan suku bangsa itu juga bisa menjadi potensi yang mengarah pada hal yang bersifat negatif, terutama menjadi sumber terjadinya berbagai konflik. Masing-masing etnik menonjolkan kelebihan masing-masing dan merendahkan kelompok etnik yang lain dengan mencibir berbagai kekurangannya, keadaan seperti ini disebut juga etnosentrisme. Sehingga terdapat etnik yang akan merasa superior jika dia lebih mayoritas atas etnik lain yang ada di sekitarnya yang cenderung minoritas. Konflik yang terjadi kemudian menyebabkan kerusakan dan jatuh korban jiwa.
Hal ini telah banyak terjadi beberapa tahun lalu yakni terjadinya konflik diberbagai daerah, seperti di Sambas, Kalimantan, di Ambon, konflik etnis dan agama di Poso Sulawesi Tengah, dan konflik Tionghoa di Jakarta, Solo, Makassar, dan di beberapa kota lainnya. Konflik-konflik tersebut menelan banyak kerugian harta benda dan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.

Budaya Suku Bangsa di Indonesia
Terbetuknya keberanekaan suku bangsa di Indonesia disebabkan oleh awal mula kedatangan nenek moyang Bangsa Indonesia ke Nusantara. Sebagian besar penduduk di Nusantara berasal dari ras Proto Melayu dan Mongoloid (China), namun ada pula sebagian kecil berasal dari ras Negroid. Kemudian di Nusantara mereka mengembangkan kebudayaan mereka dan menyesuaikan dengan alam dan tantangan kehidupan yang ditemuinya. Sehingga di setiap daerah menciptakan tradisi dan kebudayaannya masing-masing.
Meskipun mereka sama-sama berasal dari ras yang sama akan tetapi karena tantangan kehidupan, alam dan lingkungan yang bebeda sehingga melahirkan kebudayaan yang berbeda pula. Ada yang mendapat tantangan hidup di tepi laut, di gunung-gunung batu, di lahan-lahan yang subur, ataupun di daerah rawa-rawa. Di tempat mereka yang baru masing-masing menghadapi tantangan hidup yang berbeda, sehingga untuk menjawabnya mereka pun mencari cara yang berbeda pula. Demikian pula dalam menanggapi alamnya mereka pun melakukan dengan berbagai cara.
Meskipun serumpun orang Bugis, Makassar, Mandar, mungkin Toraja memiliki perbedaan kebudayaan dan pola kemasyarakatannya. Seperti halnya di Sumatra antara orang Aceh, Padang, Minang, dan mungkin Batak juga terdapat perbedaan-perbedaan. Di Pulau Jawa antara orang Jawa, Sunda, dan Betawi juga memiliki perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu dapat dikenali dengan mengamati perilaku/ aktifitas kehidupan mereka dalam memberikan jawaban terhadap tantangan hidupnya dan menanggapi alamnya.
Dalam perkembangan kemudian masing-masing suku bangsa yang sudah mulai terbentuk tersebut kemudian pula mendapat pengaruh dari kebudayaan luar. Mulanya mendapat pengaruh kebudayaan Hindu yang datang dari India, kemudian kebudayaan Islam yang datang dari Arab, dan kebudayaan Eropa yang dibawah oleh bangsa penjajah yang mencari rempah-rempah.
Masing masing kebudayaan tersebut meninggalkan anasir-anasir kebudayaannya dalam masyarakat di Nusantara. Kebudayaan Hindu, Islam, dan Eropa yang juga membawa agama Kristen dapat ditemukan pada suku bangsa yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hampir di seluruh Nusantara bekas kebudayaan Hindu masih dapat dijumpai hingga dewasa ini terutama pada masyarakat Jawa dan Bali. Di sana kita masih dapat menemui candi-candi dan berbagai ritual dalam penganut agama Hindu.
Kebudayaan Islam demikian pula dapat ditemukan di hampir semua pelosok Nusantara. Di mana-mana terdapat masjid dan berbagai tradisi dan ritual/ibadah menurut ajaran Islam. Demikian halnya dengan pengaruh kebudayaan Barat dan Kristen, yang biasanya dikenal sebagai pelopor kebudayaan modern.
Pesebaran pengaruh kebudayaan yang baru itu tidak merata dan terdapat spasi-spasi sehingga terbentuk suatu konfigurasi kebudayaan yang beraneka ragam dan beraneka warna. Di Pulau Bali yang kecil misalnya meskipun di sana penduduknya mayoritas beragama Hindu akan tetapi ada kampung-kampung tersendiri yang beragama Islam dan juga beragama Kristen. Terlebih lagi di pulau-pulau yang besar seperti Sulawesi, Kalimantan, Papua, Jawa, dan Sumatera.
Keberhasilan mereka untuk melangsungkan kehidupannya dan menjawab semua tantangan yang dihadapi dalam kehidupan menunjukkan setiap suku bangsa memiliki keunggulan. Sehingga semua suku bangsa yang ada di Nusantara yang dapat hidup bertahan hingga saat ini dapat disebut sebagai suku bangsa yang unggul, karena mereka bisa mengatasi berbagai tantangan hidupnya dan padat berinteraksi dengan alam secara baik. Beberapa suku bangsa yang tidak dapat mengatasi tantangan hidupnya dan tidak berhasil berinteraksi dengan alamnya terpaksa harus punah dan gagal untuk melangsungkan kehidupannya.
Bangsa yang unggul adalah suku bangsa/etnik yang mampu bertahan hidup.

Kesukubangsaan dalam Persatuan
Bangsa Indonesia sudah sejak awal terbentuknya terdiri atas ratusan atau mungkin ribuan suku bangsa. Sebagian di antaranya harus punah karena tidak mampu mempertahankan kehidupannya.
Keberagaman suku bangsa ini tidak jarang membawa konflik antaretnik atau suku bangsa. Hal ini disebabkan karena munculnya etnosentrisme pada masing-masing masyarakat budaya yang selalu menganggap dirinya yang paling baik dan paling unggul. Padahal setiap etnik yang mampu bertahan hidupnya adalah suku bangsa yang tangguh. Ketangguhan itu bukan disebabkan atau diuji oleh suku bangsa lain, tetapi oleh tantangan kehidupan dan alam. Sehingga tidak berarti suku bangsa yang memiliki jumlah pendukung terbanyak (dominan/mayoritas) harus merasa lebih unggul dari suku bangsa yang lebih sedikit (minoritas).
Etnosentrisme seperti ini akan membawa ketidaktentraman dalam kehidupan sebagai sebuah bangsa (nation) yang lebih besar. Dengan munculnya berbagai konflik antarsuku bangsa maka akan menghancurkan potensi yang ada dalam suku bangsa itu.
Hal inilah yang telah bertahun-tahun telah terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Persoalan suku bangsa selalu menonjolkan perbedaan yang dimiliki sebagai suatu hal yang tidak sewajarnya. Selain itu juga menganggap bahwa suku bangsa mayoritas adalah suku bangsa yang lebih unggul dari pada yang minoritas. Padahal bukan disitu persoalannya.

Multi Etnik dan Pembangunan Bangsa
Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki etnik yang cukup banyak seharusnya menyadari bahwa bangsa ini memiliki banyak manusia unggul di dalamnya. Kebudayaan harus dipandang secara relatif, bahwa semua kebudayaan memiliki keunggulannya masing-masing yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Dalam konfigurasi kebudayaan Indonesia ini ada suku bangsa yang unggul karena kemampuannya mengatasi tantangan hidup di laut sehingga ia dikenal sebagai suku bangsa yang gagah perkasa di laut. Tetapi ada juga suku bangsa yang unggul karena mampu menghadapi tantangan hidupnya di gunung-gunung batu atau di hutan-hutan, dan ada pula suku bangsa yang unggul menghadapi tantangan hidupnya di daerah rawa-rawa. Masing-masing etnik ini unggul di alamnya masing-masing dan belum tentu unggul jika mereka dipertukarkan ke alam yang lain.
Dengan demikian maka terlihatlah keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Hal ini harus disadari oleh masing-masing etnik bahwa mereka memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian halnya dengan etnik lainnya mereka pun pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pandangan seperti ini dalam kebudayaan disebut sebagai relativisme kebudayaan.
Menyadari relativisme ini maka sudah semestinya dibangkitkan suatu sikap hidup untuk menyatukan semua potensi unggul yang dimiliki masing-masing suku bangsa. Setiap kelebihan atau keunggulan suatu suku bangsa dijadikan suatu kekuatan bersama untuk menutupi kelemahan suku bangsa lainnya dan demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian kekuatan Bangsa Indonesia yang besar ini akan menjadi lebih unggul dengan adanya hubungan saling kerjasama dan bersatupadu.
Masing-masing etnik yang ada di Nusantara ini harus menunjukkan rasa bangga terhadap suku bangsanya karena menyadari memiliki keunggulan, namun pada saat yang bersamaan ia pun harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepada suku bangsa yang lain yang juga memiliki keunggulan yang berbeda dari dirinya yang akan mengisi kekurangannya.
Berbekal kesadaran ini proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan pun akan terjadi dengan baik. Adalah bukan dosa bagi suatu kebudayaan mengadopsi kebudayaan lain untuk dia miliki sebagai kebudayaannya dan sebaliknya memberikan kebudayaan yang baik yang dimilikinya kepada kebudayaan lain untuk dimiliki pula. Saling beri dan menerima kebudayaan yang baik adalah suatu hal yang lazim terjadi dalam pergaulan kebudayaan di muka bumi ini.
Dengan kesadaran seperti ini maka setiap etnik akan menjaga dirinya dan juga menjaga etnik lain yang juga adalah bagian dari keutuhan dirinya. Jika hal ini dapat tercipta kehidupan setiap suku bangsa akan senantiasa terjaga dengan baik karena selain ia menjaga dirinya ada pihak lain yang ikut melindunginya pula.
Dengan cara berpikir dan bertindak yang demikian maka persatuan dan kesatuan bangsa ini akan terbentuk. Segala bentuk kerusuhan dan konflik akan terminimalisir perpecahan dan berbagai kerusakan akan terhindarkan. Dengan demikian pembangunan bangsa dapat berlangsung dengan baik.

Daftar Bacaan Pendukung:
- Bahrum, Shaifuddin, 2008, Berubah, Metamorfosis Masyarakat Tionghoa Makassar dalam 10 Tahun Reformasi, Baruga Nusantara, Makassar.
- Bakir Zein, Abu, 2000, Etnis Cina, dalam Potret Pembauran Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta.
- Barth Frederik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Penerbit Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
- Haviland, William, A, 1999, Antropologi (Jilid 1), Penerbit Erlangga, Jakarta.
- Salim, Agus, Dr., MS, Stratifikasi Etnik Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina, Fak. Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (UNES) dan Tiara Wacana.
- Sztompka, Piotr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Media Jakarta.

Sinopsis DATU MUSENG DAN MAIPA DEAPATI

Jenis : Sastra Drama/ Teater
Penulis : Mahfud Ramli
Pertunjukan Oleh:
Teater TAMBORA Makassar
Sutradara :
Rudy Barsit – Kadir Sila
Pertunjukan:
25-26 Oktober 2008
Di Gedung Kesenian Sulawesi Selatan


Kisah ini berangkat dari cerita rakyat yang sangat popular di kalangan masyarakat suku Makassar. Cerita ini dituturkan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka agar mendapatkan hikmah dan pendidikan kejuangan dan kesetiaan.
Kisah ini menceriterakan percintaan antara Datu Museng dan Maipa Deapati. Datu Museng adalah putra bangsawan dari Kerajan Gowa yang jatuh cinta kepada Maipa Deapati Putri bangsawan Kerajaan Sumbawa.
Perjumpaan mereka di rumah rumah nenek/Kakek Datu Museng Adearangang. Karena keduanya belajar mengaji di tempat itu. Datu Museng dengan berani menyatakan isi hatinya dan langsung melamar Maipa dengan jalan mengambil cincin gadis pujaan itu dan memasang di jari manisnya.
Meski demikian tidak berarti cinta Datu Museng dapat berjalan mulus, karena keluarga Istana Sumbawa memingit Maipa dengan sangat ketatnya. Bahkan telah menjodohkan Maipa dengan sepupunya yang bernama Karaeng Mangalasa. Datu Museng dan Maipa Deapati tidak dapat bertemu secara bebas lagi.
Melihat tantangan yang begitu berat Datu Museng memutuskan pergi mencari ilmu yang dapat digunakannya untuk mendapatkan Maipa. Maka Datu Museng kerangkat ke Tanah Suci Mekah. Di sanalah dia berguru dan mendapatkan ilmu “Bunga Ejana Madina”.
Dalam semua pesta di gelar permainan raga dan pada saat itu Datu Museng tampil mempertunjukkan kemahirannya bermain raga sekaligus ilmu yang dimilikinya. Raga yang disepaknya melambung tinggi dan meloncat masuk ke kamar Maipa dan menemuiny di sana. Bola raga itulah yang menjadi penyabung rindu keduanya.
Karena rindu yang tak tertahankan akhirnya mereka memutuskan untuk lari bersama ke tanah seberang, ke Makassar. Atas bantuan kakeknya, Adearangang keduanya melarikan diri ke Makassar. Di daerah inilah mereka membangun rumah tangganya.
Di Makassar tantangan lain datang lagi. Pemerintah Belanda yang bergelar Tumlompoa yang berkuasa tidak senang atas kehadiran Datu Museng. Bahkan Pimpinan Belanda tertarik pada kecantikan Maipa Deapati dan ingin mempersuntingnya. Akan tetapi mereka tidak mudah mengalahkan Datu Museng yang senantiasa melindungi dan menjaga Maipa.
Akan tetapi Belanda tak berputus asa ia menyerang Datu Museng dengan sangat gencar siang dan malam sampai pada akhirnya Datu Museng dan Maipa Deapati membuat keputusan untuk tetap bersama dalam hidup dan mati. Maipa tidak rela mati di tangan Belanda, tetapi hanya ingin menemui ajalnya di tangan suami yang dicintainya. Sehingga ketika pagi menjelang di hari berikutnya, ia mempersilahkan Datu Museng untuk menusukkan keris/badiknya ke lehernya dan Datu Musengpun melepaskan jimat kekebalannya sebelum menghadapi pasukan Belanda. Akhirnya Datu Musengpun gugur di medan laga.

(INGIN MEMPEROLEH NASKAH LENGKAPNYA HUBUNGI EMAIL BLOG INI)

Drama ASOKA Karya: Shaifuddin Bahrum

Sinopsis
Raja Asoka yang Agung adalah penguasa Kerajaan Maurya yang termasyhur karena keuletan dan kekuasaannya ia berhasil meluaskan daerahnya. Pada awalnya Asoka dikenal sebagai raja yang gemar berperang, dan selalu haus darah. Ia tidak segan-segan untuk membunuh. Ketika ia ingin naik tahta menjadi raja Maurya ia terlebih dahulu membunuh semua saudara-saudaranya termasuk Sasham yang juga sangat berambisi.
Ia bahkan juga memerangi kerajaan Kalingga tanpa alas an yang kuat.
Namun pada akhirnya ia tersadar akan apa yang diperbuatnya dan ingin menjadi pengayom, pencinta bagi semua anak manusia.

Prolog
KERAJAAN MAURYA YANG DAMAI TIBA-TIBA DILANDA KETEGANGAN. PARA PUTRA RAJA BINDUSWARA SALING BERSITEGANG. MASING-MASING INGIN MENDUDUKI TAHTA. ASOKA SALAH SATU PUTRA RAJA BINDUSWARA JUGA MEMILIKI HAK UNTUK DUDUK DI SINGGA SANA ITU. AKAN TETAPI DIPIHAK LAIN SUSHIM SAUDARANYA JUGA MEMILIKI AMBISI YANG CUKUP BESAR. SUSHIM MENDAPAT DUKUNGAN DARI SAUDARA-SAUDARANYA YANG LAIN.
UNTUK MENGHINDARI KONFLIK BERDARAH MAKA IBU ASOKA MEMINTA ANAKNYA UNTUK MENINGGALKAN MAURYA. ASOKA PERGI MENGASINGKAN DIRI. DI TEMPAT PENGASINGANNYA IA BERKENALAN DENGAN PANGERAN ARYA PUTRA RAJA KALINGGA DAN KAUWARKI PENGASUHNYA. KAUWARKI KEMUDIAN DIPERISTRI OLEH ASOKA.
NAMUN SUATU KETIKA ASOKA DIPANGGIL KEMBALI KE NEGERINYA UNTUK MEMPERKUAT PASUKAN MAGADHA DAN MELAWAN LAWAN-LAWANNYA. DALAM SATU PEPERANGAN ASOKA TERLUKA PARAH SEHINGGA IA HARUS DI RAWAT DI SEBUAH KAMPUNG. DISANALAH I BERTEMU DEWI DAN SEORANG PENDETA BUDHA. DEWI KEMUDIAN DIKAWININYA.
SEKEMBALINYA DIKERAJAANNYA ASOKA MENANTANG SAUDARA-SAUDARANYA YANG BERAMBISI UNTUK MENDUDUKI TAHTA KERAJAAN LALU KEMUDIAN TERJADILAH PERANG SAUDARA. KEMENANGAN BERADA DITANGAN ASOKA DAN SAUDARA-SAUDARANYA HARUS MATI DI UJUNG “PEDANG DURJANA” ASOKA. MAURYA MENEMUKAN RAJA BARUNYA.

(JIKA INGIN MENDAPATKAN NASKAH LENGKAPNYA DAPAT MENGHUBUNGI EMAIL BLOG INI)

Drama ASOKA Karya: Shaifuddin Bahrum

Sinopsis
Raja Asoka yang Agung adalah penguasa Kerajaan Maurya yang termasyhur karena keuletan dan kekuasaannya ia berhasil meluaskan daerahnya. Pada awalnya Asoka dikenal sebagai raja yang gemar berperang, dan selalu haus darah. Ia tidak segan-segan untuk membunuh. Ketika ia ingin naik tahta menjadi raja Maurya ia terlebih dahulu membunuh semua saudara-saudaranya termasuk Sasham yang juga sangat berambisi.
Ia bahkan juga memerangi kerajaan Kalingga tanpa alas an yang kuat.
Namun pada akhirnya ia tersadar akan apa yang diperbuatnya dan ingin menjadi pengayom, pencinta bagi semua anak manusia.

Prolog
KERAJAAN MAURYA YANG DAMAI TIBA-TIBA DILANDA KETEGANGAN. PARA PUTRA RAJA BINDUSWARA SALING BERSITEGANG. MASING-MASING INGIN MENDUDUKI TAHTA. ASOKA SALAH SATU PUTRA RAJA BINDUSWARA JUGA MEMILIKI HAK UNTUK DUDUK DI SINGGA SANA ITU. AKAN TETAPI DIPIHAK LAIN SUSHIM SAUDARANYA JUGA MEMILIKI AMBISI YANG CUKUP BESAR. SUSHIM MENDAPAT DUKUNGAN DARI SAUDARA-SAUDARANYA YANG LAIN.
UNTUK MENGHINDARI KONFLIK BERDARAH MAKA IBU ASOKA MEMINTA ANAKNYA UNTUK MENINGGALKAN MAURYA. ASOKA PERGI MENGASINGKAN DIRI. DI TEMPAT PENGASINGANNYA IA BERKENALAN DENGAN PANGERAN ARYA PUTRA RAJA KALINGGA DAN KAUWARKI PENGASUHNYA. KAUWARKI KEMUDIAN DIPERISTRI OLEH ASOKA.
NAMUN SUATU KETIKA ASOKA DIPANGGIL KEMBALI KE NEGERINYA UNTUK MEMPERKUAT PASUKAN MAGADHA DAN MELAWAN LAWAN-LAWANNYA. DALAM SATU PEPERANGAN ASOKA TERLUKA PARAH SEHINGGA IA HARUS DI RAWAT DI SEBUAH KAMPUNG. DISANALAH I BERTEMU DEWI DAN SEORANG PENDETA BUDHA. DEWI KEMUDIAN DIKAWININYA.
SEKEMBALINYA DIKERAJAANNYA ASOKA MENANTANG SAUDARA-SAUDARANYA YANG BERAMBISI UNTUK MENDUDUKI TAHTA KERAJAAN LALU KEMUDIAN TERJADILAH PERANG SAUDARA. KEMENANGAN BERADA DITANGAN ASOKA DAN SAUDARA-SAUDARANYA HARUS MATI DI UJUNG “PEDANG DURJANA” ASOKA. MAURYA MENEMUKAN RAJA BARUNYA.

Caleg di Hati Masyarakat

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) seperti sekarang ini banyak caleg yang memajang foto-foto mereka di sudut jalan di kampung-kampung maupun di kota. Tujuannya adalah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa dirinya juga maju sebagai calon legislatif melalui partai tertentu.
Tentu saja ratusan wajah yang setiap saat dapat kita temui itu tidak dapat kita ingat semua. Meskipun ada beberapa gambar yang setiap saat kita lihat wajahnya dan kita baca namanya. Tapi karena kita tidak pernah memiliki kesan kuat terhadap wajah-wajah dalam baliho itu maka tentunya tidak akan besar pengaruhnya nanti pada saat Pemilu.
Dalam pengalaman keseharian, hampir setiap hari kita bertemu dengan berbagai manusia dalam kehidupan kita. Sebagian orang-orang tersebut telah kita kenal, sebagian kita baru mengenalnya, dan sebagian lagi sama sekali tidak kita kenal. Sebagian kecil yang sudah kita kenal masuk ke dalam kesadaran dan ingatan-ikatan kita secara akrab, namun sebagiannya lagi terapung-apung yang kadang muncul dan kadang tenggelam dalam lupa kita.
Orang yang kita kenal dan melakat dalam kesadaran dan ingatan tersebut adalah mereka yang pernah memberi sesuatu kesan yang berarti. Ada kenalan yang memberi kesan baik sehingga kita selalu mengingatnya dengan penuh bahagia, tetapi tidak sedikit kenalan yang memberikan kesan buruk kepada kita sehingga kita mengenangnya dengan penuh keresahan dan kegusaran. Kedua-duanya mengisi ruang-ruang kesadaran kita dan bahkan kadang menyelusup masuk ke alam mimpi-mimpi kita.
Orang-orang yang telah masuk dalam ruang-ruang kesadaran dan mimpi kita dengan mudah kita ingat kesan dengan segala kenangannya. Akan tetapi mereka yang tidak pernah memberi kesan hanya akan melayang-layang di depan mata tanpa arti. Meskipun kita bertemu berulang-ulang kali muncul di depan mata kita. Akan tetapi seseorang yang pernah kita lawan bertinju, berdebat, atau seorang anak kecil yang pernal memecahkan kaca jendela rumah kita dengan lemparan baru akan melekat dalam ingatan. Apa lagi kekasih yang dulu menemani berjalan dalam rinai hujan sambil bergandengan tangan atau pacar yang dulu membuat kita patah hati pasti akan kita kenang dalam kehidupan kita.
Jadi bagi yang penting bagi banyak caleg sesungguhnya bukan poster atau baliho yang sangat penting dalam upaya meraih suara dalam pemilu nanti, akan tetapi adalah apakah mereka sudah memberi kesan baik kepada masyarakat. Sehingga wajahnya sudah tertinggal dalam kenangan dan impian. Tetapi jika hanya sekadar memasang poster dan baliho untuk mempopulerkan wajahnya maka kecil kemungkinan ia akan memperoleh suara yang cukup yang akan mengantarnya ke kursi legislatif.
Karena ingin meninggalkan kesan yang baik kepada masyarakat maka banyak celeg yang salah kapra. Mereka datang ke tengah masyarakat lalu membagi-bagikan uangnya atau paling tidak dalam bentuk sembako. Cara memberi kesan seperti ini sangat instan dan mungkin juga kurang efektif. Karena semuanya sudah serba dadakan dan kesannya hanya menyentuh permukaan saja.
Sesungguhnya kalau mereka sudah menyiapkan diri mereka sejak awal tentu upaya memberi kesan itu sudah dilakukan sejak awal dan tidak perlu mengeluarkan dana mendadak yang jumlahnya cukup besar. Jika caleg yang kesannya sudah melekat di hati masyarakat maka ia akan dipilih dengan senang hati (udin bahrum).

Esai

CALEG DI HATI MASYARAKAT

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) seperti sekarang ini banyak caleg yang memajang foto-foto mereka di sudut jalan di kampung-kampung maupun di kota. Tujuannya adalah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa dirinya juga maju sebagai calon legislatif melalui partai tertentu.
Tentu saja ratusan wajah yang setiap saat dapat kita temui itu tidak dapat kita ingat semua. Meskipun ada beberapa gambar yang setiap saat kita lihat wajahnya dan kita baca namanya. Tapi karena kita tidak pernah memiliki kesan kuat terhadap wajah-wajah dalam baliho itu maka tentunya tidak akan besar pengaruhnya nanti pada saat Pemilu.
Dalam pengalaman keseharian, hampir setiap hari kita bertemu dengan berbagai manusia dalam kehidupan kita. Sebagian orang-orang tersebut telah kita kenal, sebagian kita baru mengenalnya, dan sebagian lagi sama sekali tidak kita kenal. Sebagian kecil yang sudah kita kenal masuk ke dalam kesadaran dan ingatan-ikatan kita secara akrab, namun sebagiannya lagi terapung-apung yang kadang muncul dan kadang tenggelam dalam lupa kita.
Orang yang kita kenal dan melakat dalam kesadaran dan ingatan tersebut adalah mereka yang pernah memberi sesuatu kesan yang berarti. Ada kenalan yang memberi kesan baik sehingga kita selalu mengingatnya dengan penuh bahagia, tetapi tidak sedikit kenalan yang memberikan kesan buruk kepada kita sehingga kita mengenangnya dengan penuh keresahan dan kegusaran. Kedua-duanya mengisi ruang-ruang kesadaran kita dan bahkan kadang menyelusup masuk ke alam mimpi-mimpi kita.
Orang-orang yang telah masuk dalam ruang-ruang kesadaran dan mimpi kita dengan mudah kita ingat kesan dengan segala kenangannya. Akan tetapi mereka yang tidak pernah memberi kesan hanya akan melayang-layang di depan mata tanpa arti. Meskipun kita bertemu berulang-ulang kali muncul di depan mata kita. Akan tetapi seseorang yang pernah kita lawan bertinju, berdebat, atau seorang anak kecil yang pernal memecahkan kaca jendela rumah kita dengan lemparan baru akan melekat dalam ingatan. Apa lagi kekasih yang dulu menemani berjalan dalam rinai hujan sambil bergandengan tangan atau pacar yang dulu membuat kita patah hati pasti akan kita kenang dalam kehidupan kita.
Jadi bagi yang penting bagi banyak caleg sesungguhnya bukan poster atau baliho yang sangat penting dalam upaya meraih suara dalam pemilu nanti, akan tetapi adalah apakah mereka sudah memberi kesan baik kepada masyarakat. Sehingga wajahnya sudah tertinggal dalam kenangan dan impian. Tetapi jika hanya sekadar memasang poster dan baliho untuk mempopulerkan wajahnya maka kecil kemungkinan ia akan memperoleh suara yang cukup yang akan mengantarnya ke kursi legislatif.
Karena ingin meninggalkan kesan yang baik kepada masyarakat maka banyak celeg yang salah kapra. Mereka datang ke tengah masyarakat lalu membagi-bagikan uangnya atau paling tidak dalam bentuk sembako. Cara memberi kesan seperti ini sangat instan dan mungkin juga kurang efektif. Karena semuanya sudah serba dadakan dan kesannya hanya menyentuh permukaan saja.
Sesungguhnya kalau mereka sudah menyiapkan diri mereka sejak awal tentu upaya memberi kesan itu sudah dilakukan sejak awal dan tidak perlu mengeluarkan dana mendadak yang jumlahnya cukup besar. Jika caleg yang kesannya sudah melekat di hati masyarakat maka ia akan dipilih dengan senang hati (udin bahrum).