Kamis, 17 September 2009

MENERIMA DENGAN IKHLAS (Jangan Resah dengan hasil Pemilu)

Bukan lagi kata yang asing. Ikhlas sebagai kata yang petik dari ajaran agama mengajarkan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tanpa beban dalam hati kita.

Keikhlasan yang lahir dalam diri mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang terbaik. Namun dalam praktiknya bersikap ikhlas itu bukan sesuatu yang gampang untuk dikerjakan, tapi bukan sesuatu hal yang mustahil. Hati kita harus bisa dilatih untuk bersikap pasrah dan berserah diri kepada Tuhan dalam melakukan dan mengerjakan kebaikan.
Baru-baru ini Erbe Sentanu kembali meluncurkan bukunya The Science & Miracle of Zona Ikhlas (2009) setelah sukses dengan bukunya Quantum Ikhlas (2008) yang menjadi best-seller. Buku barunya tersebut memandang Zona Ikhlas dari sisi yang lebih ilmiah.
Saya tiba-tiba berkeinginan besar untuk memiliki buku ini setelah melihat fenomena akhir-akhir ini, terutama setelah dilaksanakannya Pemilihan Umum Legislatif 2009 pada bulan April yang lalu. Begitu banyak caleg yang mengalami penderitaan setelah gagal meraup suara yang menjadi penunjang untuk duduk berkantor di Gedung Perwakilan Rakyat. Sebagian di antara mereka terserang sakit fisik dan sebagian lagi terserang sakit jiwa dan bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Hal ini terjadi lantaran mereka telah berkampanye dengan sangat maksimal dengan mengerahkan segala kemampuan dalam dirinya termasuk kemampuan finansialnya. Selain telah menguras tenaga dan pikirannya mereka pun mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan juta selama berkampanye. Mereka melakukan pendekatan, silaturahim, dan memberi bantuan/ sumbangan, baik kepada perorangan maupun ke lembaga-lembaga sosial.
Sesungguhnya apa yang caleg-caleg lakukan itu misalnya memberi bantuan dana, membagi-bagikan sembako dan pakaian, memberikan bantuan pengobatan gratis kepada yang sakit dan lain-lain adalah perbuatan amal. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sesuatu yang mulia di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja sangat disayangkan bahwa pemberian dan perbuatan baik itu sangat sarat dengan pamrih. Mereka memberi dengan mengharap imbalan dan bukan didasari rasa ikhlas karena ibadah kepada Tuhan semata. Di dalam hati para caleg yang tergambar adalah setiap rupiah yang dikeluarkan akan dibalas dengan pemberian suara. Besarnya dana yang dikeluarkan oleh caleg selalu berharap balasan suara yang cukup besar pula jumlahnya. Sehingga ketika melakukan kebajikan tidak ada lagi getaran-getaran Ilahiah yang berharap balasan dari Tuhan tetapi balasan dari manusia.
Ketika dalam Pemilihan Umum harapan itu tidak diraihnya. Suara dari pemilih tidak datang juga maka muncul penyakit dalam hatinya. Di sana ada rasa kecewa, dendam, frustrasi, dan marah. Sehingga untuk melampiaskan perasaannya itu ia kembali ke masyarakat yang pernah diberinya sesuatu menagih dan melakukan perusakan terhadap apa yang mereka telah bangun sebelum pemilu berlangsung. Sebagian para caleg yang memendam perasaan itu terserang penyakit jiwa.
Padahal jika jika semuanya diawali dengan rasa ikhlas mungkin akibatnya tidak separah sekarang ini. Rasa Ikhlas akan membangkitkan rasa percaya dirinya bahwa kegagalan menjadi anggota legislatif bukanlah suatu kiamat dalam kehidupan ini, kegagalan hari ini akan tergantikan dengan kesuksesan di hari esok di tempat yang lain. Tuhan pasti lebih di mana sebaiknya kita berada dalam kehidupan ini. Menjadi caleg bukan satu-satunya tempat meraih sukses. Soal dana yang habis terbagikan akan bernilai amal di sisi Tuhan, dan jika itu ada berkahnya maka Tuhan pasti akan menggantikan dengan rezki yang lebih banyak yang tidak diketahui dari mana asalnya nanti.
Berlaku dan bekerja secara ikhlas dalam kehidupan akan membawa kita dalam berbagai kejaiban dan hasilnya akan menakjubkan. Yah semoga hati ini bisa terus berlatih untuk ikhlas…. (Mei 2009-udin bahrum)

Liem Kheng Young : PENERJEMAH CERITA TIONGHOA KE DALAM LONTARAQ


Sampai pada tahun 1960an masyarakat Tionghoa di Makassar masih bisa menikmati tulisan-tulisan Liem Kheng Young dalam bentuk buku-buku cerita Tionghoa klasik seperti; Sam Kok, Sie Jin Kui, Hong Sing, Sam Peng Eng Tai, dan lain-lain sebagainya. Kisah-kisah itu dibaca dalam Bahasa Makassar dan dalam aksara lontaraqq. Buku-buku tersebut dapat dijumpai dalam berjilid jumlahnya.
Tercatat 64 judul cerita Tionghoa klasik yang telah diterjemahkan oleh Lieng Kheng Young di sekitar tahun 1928 sampai 1939. Cerita-cerita tersebut ditulisnya dengan tangannya sendiri dengan pit (pena/ kuas Tionghoa) dengan tinta hitam. Tulisannya itu dibuat dalam bentuk cerita bersambung berjilid-jilid. Setiap jilid berjumlah antara 80-84 halaman. Sehingga dapat dibayangkan ketekunan Liem Kheng Young dalam menerjemahkan dan menuliskan cerita-cerita klasik tersebut.
Sebuah cerita paling sedikit dibuat dalam 5 jilid dan ada juga yang ditulis sampai puluhan dan bahkan sampai 100 jilid lebih. Kisah Si Poet Tjoan dibuatnya 110 jilid dan Sam Kok mencapai 150 jilid. Karya tulis Liem Kheng Young berjumlah kurang lebih 2000 jilid.
Tidak kalah mengagumkannya adalah kemahirannya menerjemahkan dan menulis bahasa Makassar dengan aksara lontaraq. Penerjemah yang demikian paling tidak menguasai dengan baik dua bahasa tersebut. Tentu saja bukan hanya menguasai kedua bahasa tersebut (Tionghoa dan Makassar) tetapi juga menguasai latar sosial dan budaya kedua bahasa.
Buku sebanyak itu semasa hidupnya banyak dibaca oleh masyarakat Makassar, terutama kalangan perempuan (uwa-uwa dan encim-encim). Dalam waktu-waktu senggang mereka mengisinya dengan menyewa dan membaca buku-buku karya Liem Kheng Young.
Ketika sebelum perang dunia ke2 Liem Kheng Young bertempat tinggal di Kampung Melayu tepatnya di Jalan Sulawesi (dekat Jalan Pintu Dua). Di depan tempat tinggalnya itu ia membuka kios tempat penyewaan buku-buku tulisannya tersebut.

Liem Kheng Young

Liem Kheng Young di lahirkan di Provinsi (distrik) Tiotoa (Changtai) Fujian bagian Selatan pada tahun 1875 (tidak diketahui tanggal dan bulannya). Ayahnya bernama Liem Eng Djioe.
Sejak masa kecil orang tuanya sudah memberinya pendidikan kepada Kheng Young cilik sejak di negeri Tiongkok. Mo Ling dan Nio Tjiang Thai adalah dua gurunya yang paling berjasa yang telah memberinya pendidikan dasar di negeri asal nenek moyangnya. Ketika ia hijrah ke Makassar ia kemudian banyak belajar Bahasa Makassar dan huruf lontaraq. Kheng Young dikenal dalam keluarganya senang dan gemar membaca cerita-cerita klasik Tiongkok.
Di Makassar orang tuanya bekerja sebagai pedagang yang membuka toko barang pecah belah. Akan tetapi Liem Kheng Young tidak tertarik dengan dunia perdagangan, ia lebih tertarik untuk membaca dan menerjemahkan bacaannya itu ke dalam bahasa Makassar.
Tidak diketahui kapan aktifitasnya itu dimulai oleh Liem Kheng Young. Akan tetapi dari sekian banyak hasil terjemahannya itu dapat ditemukan tahun 1928 sebagai tahun tertua dan 1936 sebagai tahun termuda. Hasil terjemahannya itu yang dipersewakan menjadi lahan pekerjaan utamanya dan menjadi lahan penghasilannya.
Selain menerjemahkan dan menulis cerita ia juga menulis syair-syair ringkas tapi padat. Malah ia juga menulis buku dalam Bahasa Makassar yang memuat kecaman-kecaman terhadap pemuda-pemuda (siocia-siocia) yang bergaya modern dan mertua-mertua yang cerewet dengan kata-kata yang pedas.
Kini karya-karya Lieng Kheng Young sebagian masih tersimpan rapih oleh keluarga mereka. Hanya saja sudah tidak dipersewakan lagi. Karya tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat Tionghoa Makassar telah melebar dalam kehidupan masyarakat dan budaya Makassar.(udin bahrum)

Sukuisme VS Pluralisme

Dewasa ini kita masih sering mendengarkan masyarakat berdebat soal keunggulan suku bangsa tertentu, lalu menganggap diri paling unggul. Perdebatan seperti itu tentu saja terasa gamang dalam era dewasa ini, karena untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dibutuhkan kebersamaan semua elemen bangsa untuk bekerja sama.

Masalah sukuisme di negeri kita ini sudah semestinya berakhir sejak tahun 1928, ketika pemuda-pemuda Indonesia bersepakat untuk menyatukan diri membela memperjuangkan kemerdekaan bangsa yang mereka cintai ini. Mereka telah menyatu dalam sumpah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yakni Indonesia.
Namun kenyataannya masalah kesukubangsaan masih terus menjadi permasalahan hingga 80 tahun kemudian. Sebagian masyarakat Indonesia masih terlalu bangga membicarakan dan menonjolkan suku bangsanya masing-masing. Masalahnya karena Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa.
Memang sulit untuk dipungkiri bahwa untuk membangun sebuah bangsa yang multi etnik seperti Indonesia tidak bisa terlepas dengan kuatnya masing-masing etnik pendukungnya. Di dalam etnik terdapat kekenyalan sosial dan budaya yang dapat memelihara berbagai potensial di dalamnya. Termasuk kekuatan potensi spiritual dan intelektual manusianya.
Namun kekuatan yang bersifat internal itu tidak dapat terukur jika tidak dibandingkan dengan kekuatan suku/etnik lain yang juga memiliki potensi yang besar pula sehingga perlu dilakukan kompetisi untuk mengetahui kekuatan masing-masing. Maka dengan demikian akan terlihat tingkatan-tingkatan kekuatan masing-masing etnik.
Keunggulan masing-masing etnik itu tentu akan sangat bervariasi pada masing-masing bidang/ potensinya. Setiap etnik memiliki keunggulannya pada bidang-bidang tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh suku/etnik yang lain. Demikian halnya dengan kekurangan atau kelemahan masing-masing etnik tentu saja ada pada masing-masing bidang.
Mencermati komposisi seperti itu maka terlihat adanya variasi yang bisa saling mengisi antara satu etnik/ suku dengan etnik lainnya jika dibangun sebuah masyarakat plural. Masyarakat yang majemuk akan menghilangkan keangkuhan kesukuan dan membangun kebersamaan saling membutuhkan (simbiosis mutualisme).
Masyarakat plural akan selalu menciptakan suasana saling menghargai kelebihan masing-masing dan menjalin hubungan jaringan kerja antara satu dengan lainnya. Jika menyadari bahwa dalam diri terdapat kekurangan maka untuk mengisinya kita membutuhkan orang lain.
Masalah kekinian Indonesia sudah bukan saatnya menonjol-nonjolkan masalah kesukuan atau etnik sendiri. Bukannya tidak penting akan tetapi masalah kesukuan adalah masalah internal masing-masing suku bangsa atau personal pendukungnya. Setiap orang harus memiliki rasa bangga terhadap suku yang menyadari kelebihan dan kekurangannya. Akan tetapi lebih penting lagi menyadari kelebihan orang lain dan memberinya penghargaan dan penghormatan yang semestinya. Sehingga dengan demikian dapat diciptakan satu jaringan kerja untuk bersama-sama membangun bangsa ini ke masa depan.
Adalah lebih bijak jika seseorang atau suatu kelompok masyarakat yang mengetahui kekurangan orang lain atau kelompok lain lalu menutupinya dengan sesuatu yang menjadi kelebihannya. Hubungan sosial seperti ini kemudian akan saling menguatkan antara satu dengan lainnya yang pada akhirnya melahirkan masyarakat Indonesia yang kuat, tangguh, dan unggul.

PRESIDEN DAN KITA

Kita baru saja melewati satu fase dari proses demokrasi di Indonesia, yakni pemilihan Umum Presiden untuk periode 2009-2014, setelah beberapa bulan yang lalu kita juga melewati Pemilu Legislatif. Apa pun yang dihasilkan dari Pemilu Presiden itu adalah terpilihnya seorang pemimpin bangsa yang terbaik bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Pemilihan Presiden tentu bukanlah pemilihan Kepala Desa atau pemilihan Kepala Suku, karena wilayah geografis dan wilayah etnografisnya jauh lebih luas. Meskipun para candidat Presiden berlatar belakang wilayah dan etnik yang berbeda-beda. Tetapi ketika ia maju menjadi calon presiden maka garis-garis wilayah dan etnik tersebut akan tercabut dengan sendirinya dan melabeli dirinya dengan nasionalisme.
Pada awalnya memang muncul berbagai isu yang menonjolkan masalah kedaerahan, daerah asal yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan pemilihan Presiden RI karena bangsa kita adalah bangsa yang multi etnik, dan multi kultur. Bangsa Indonesia dibangun dari sejumlah suku bangsa yang ada yang saling topang-menopang, bergotong-royong dan saling bahu membahu merebut kemerdekaan, dan melakukan pembangunan secara terus menerus selama 64 tahun.
Keberagaman kita ini menjadi penting dan merupakan suatu hal yang harus dianggap sebagai suatu kekuatan bangsa. Sehingga rancangan pembangunan ke depan yang diprogramkan oleh Presiden haruslah diarahkan kepada pemerataan ke semua bagian dalam masyarakat kita, dan di semua wilayah di bumi pertiwi ini.
Kesalahan masa lalu yang hanya melakukan pembangunan di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia dan mengabaikan wilayah lain harus bisa diperbaiki. Wilayah yang tertinggal tersebut sudah saatnya dilakukan percepatan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya. Wilayah itu sudah semestinya diberikan perhatian khusus.
***

Seorang pemimpin bangsa akan menjadi bapak bagi segenap anak bangsa dari golongan atau dari etnik apapun. Sebagai bapak bangsa ia akan mengayomi melindungi dan sesekali akan menjewer telinga anak-anaknya jika ada yang bandel. Karena anak yang bandel akan mengganggu suasana rumah jika dibiarkan bertingkah. Maka sebagai langkah awal dan yang amat penting dilakukan oleh Bapak Presiden baru kita adalah melanjutkan menjewer telinga-telinga para koruptur yang merusak citra bangsa dan membuat banyak orang jadi menderita.
Presiden kita harus membuat negara ini menjadi aman, tentram, damai, dan sejahtera. Dengan rasa aman dan tentram masyarakat akan dengan mudah mengembangkan kehidupannya. Selain perekonomian akan tumbuh menuju kesejahteraan yang lebih baik berbagai usaha pun dapat dibangun untuk menopang kehidupan bangsa.
Traumatik masa lalu tentang berbagai kerusuhan yang berbau diskriminasi dan “sara” sudah saatnya diakhiri dan tidak lagi diberi kesempatan untuk muncul kembali. Semua suku bangsa yang ada di Indonesia harus diberi kesempatan yang sama untuk mengabdi dan mengeksperikan rasa cintanya kepada bangsa Indonesia dalam kerja, dan melakukan apa saja yang merupakan bentuk partisipasinya dalam pembangunan.
Sisa-sisa berbagai regulasi pemerintah masa lalu yang bersifat diskriminatif sudah saatnya dihapus dan digantikan dengar peraturan dan kebijakan yang lebih bersifat membangun kebersamaan.
Semua slogan yang muncul dalam kampanye Pilpres yang lalu harus kita simpan dalam file kita dengan baik sebagai bahan untuk menagih janji pada para tokoh dan bapak bangsa kita. Terlebih lagi bagi yang sudah terpilih oleh rakyat sebagai presiden. Mari kita menyimpan slogan “Pro Rakyat”, “Lanjutkan”, dan “Lebih Cepat Lebih Baik”, karena di balik slogan-slogan politik itu tersimpan janji pada kita sebagai rakyat. (juli 2009/ udin bahrum)

Merah Putih Pak Asdar

Di depan rumah tetanggaku Asdar Muis terdapat sebuah tiang bendera yang sepanjang tahun mengibarkan bendera sangsaka Merah Putih di ujungnya. Bendera itu tak pernah diturunkan. Semula kami tidak tahu alasannya, hanya kami mengira-ngira saja. Mungkin pemiliknya malas menaik turunkan bendera itu, atau memang mungkin tidak perduli.

Sangsaka Merah Putih yang dibiarkan menantang segala cuaca sepanjang tahun itu, perlahan memudar warnanya sehingga warnanya tidak lagi bisa disebut merah putih tetapi mungkin merah muda putih keabu-abuan, atau merah jambu pudar putih kotor yang jelas bukan lagi merah putih. Kainnya pun mulai rapuh seratnya sehingga jahitan ditepisnya sudah terlepas sebagian dan terlihat mulai kumal dan gembel.
Tapi pemiliknya tidak perduli, atau berkeinginan untuk menggantinya meskipun tiba saat orang menaikkan bendara Merah Putih pada setiap menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Entah kapan bendera itu dinaikkan dan kapan harus diturunkan. Mungkin sudah hampir tiga tahun bendera itu terus berada dipuncak tiang itu.
Setiap menjelang peringatan hari Proklamasi tetangga-tetangga sudah sibuk menaikkan bendera Merah Putih mereka yang berwarna cerah. Merahnya benar-benar berwarna merah dan putihnya adalah putih bersih. Karena bendera-bendera mereka setiap selesai peringatan agustusan maka kain berwarna merah dan putih itu diturunkan kembali lalu dilipat dengan rapi dan disimpan dalam lemari. Jadi bendera itu hanya berkibar paling tidak hanya 2 minggu lamanya di atas tiang. Sehingga dengan demikian warna dan kainnya awet.
Tetapi bendera pak Asdar dibiarkan sepanjang tahun diterpa sinar matahari dan debu atau diguyur hujan dan embun. Seorang tetangga lalu berkomentar “Pak Asdar itu memang nasionalismenya tinggi, dan untuk menandai itu tak seharipun ia tidak mengibarkan bendera kebangsaan kita.” Saat itu sang tetangga tadi masih ingin berkomentar tentang bendera yang berkibar ditiup angin sepoi-sepoi, tetapi Pak Asdar tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Rupanya sang pemilik bendera itu mendengar sejak tadi kami berdiskusi di depan rumahnya tentang bendera miliknya. Lalu ia berkata, “Ooo saol bendera itu?” Sambil memandang bendera yang mulai sobek bagian bawahnya dipermainkan angin “Kalian salah menduga….saya hanya mengamalkan lagu ciptaan Ibu Sud yang berjudul “Berkibarlah Benderaku”. Lalu dengan tidak segan-segan ia menyanyikan lagu itu dengan suara yang lantang:

Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa

Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya

“ Jadi saya hanya membiarkan bendera itu berkibar selama-lamanya dan jangan ada yang berani menurunkannya, karena jika ada yang berani menurunkan maka serentak rakyat membelanya. Paling tidak rakyat yang ada di dalam rumah itu.” Sambil menunjuk rumahnya sendiri.
Kami yang ada di tepi jalan depan rumah Pak Asdar tak ada lagi yang beri komentar. Kemudian Pak Asdar kembali menyanyikan lagu karangan Ibu Sud itu dan kami semua mengikutinya, meskipun sudah agak lupa liriknya karena sudah lama tak pernah lagi menyanyikannya.

Kue Dadar Silaturrahim

Di daerah Pecinan Makassar terdapat sejumlah mesjid yang telah dibangun dan mencatat perjalanan sejarahnya masing-masing. Di sana terdapat masjid Makmur atau mesjid Melayu di perempatan Jalan Sangir dan jalan Sulawesi, Mesjid di Jalan Timor, dan mesjid As’said atau lazim disebut masjid Arab di Jalan Lombok. Juga terdapat masjid Mubarak di Jalan Butung, mesjid Taqmirul Masajid di Jalan ……… dan Mesjid Amanah Ende di Jalan Ende.
Sebagian mesjid tersebut berada di tengah-tengah masyarakat Tionghoa yang non-muslim. Tapi itu bukan persoalan karena semua berjalan baik-baik saja dan kerukunan yang bisa tercipta dengan baik. Buktinya tidak pernah ada keributan antaragama di sekitar kawasan mesjid. Bahkan setiap bulan Ramadhan warga Tionghoa non-muslim pun ikut membawa kue-kue (takjir) untuk suguhan buka (batal) puasa.

Acong dan Amir adalah dua anak yang hidup bertetangga di kawasan Pecinan tak jauh dari masjid Arab. Keduanya berkawan dan bersahabat. Keduanya adalah anak laki-laki usia 11 dan 12 tahun. Keduanyapun berbeda suku dan agama. Dari namanya Acong terlahir dari orang tua keturunan Tionghoa yang beragama Budha Khonghucu dan Amir anak dari orang tua yang berdarah Bugis Wajo dan beragama Islam.
Meskipun keduanya sama-sama kelas 5 tetapi ia belajar di sekolah dasar berbeda yang ada di kawasan Pecinan. Tetapi sepulang sekolah keduanya hampir tak pernah terpisahkan. Setelah mereka makan siang dan ganti baju merekapun menuju halaman mesjid. Lalu di sanalah mereka bermain bersama teman-temannya yang lain. Kadang kalau sudah lelah mereka akan tidur di teras mesjid sampai waktu ashar tiba.
Apa lagi dalam bulan puasa Amir tidak pernah alfa.
Sejak di kelas tiga SD Amir sudah dilatih oleh orang tuanya untuk menahan lapar dan dahaga hingga sore hari. Meskipun susah Amir tetap menjalaninya dan pada akhirnya sudah terbiasa. Ia pun sudah mempelajari rukun-rukun dan wajib puasa sehingga ia tahu apa yang harus dilakukannya selama berpuasa dan apa yang tidak. Secara sederhana pengetahuannya tentang puasa antara lain tidak boleh makan dan minum, tidak boleh berkata-kata bohong dan jorok, dan tidak boleh berkelahi, bertengkar, dan menangis.
Mengetahui Amir berpuasa Acong juga menunjukkan pengertian dan solidaritasnya. ia juga tidak pernah makan dan minum ketika bersama Amir. Bahkan kalo buka puasa Acong selalu mendapat sebuah kue dadar dan kue lainnya serta segelas teh atau sirup. Acong pun ikut bersama-sama Amir dan kawan-kawan lainnya berbuka puasa di mesjid. Tak ada yang mempersoalkan, tak ada yang protes. Acong dianggap sebagai bagian mereka juga di masjid itu.
Pada hari-hari tertentu ibu Acong juga meminta anaknya untuk mengantarkan kue jajanan dan minuman ke mesjid untuk berbuka puasa. Kiriman itu dilakukannya sekali seminggu, sehingga dalam bulan Ramadhan ia lakukan empat kali. Meskipun mereka bukan keluarga muslim akan tetapi mereka merasa nyaman, tentram, bahagia, jika bemberikan sesuatu ke mesjid. Tradisi ini sesungguhnya juga dilakukan oleh orang tua mereka dahulu ketika masih hidup. Kata ibunya “Ini adalah tradisi nenek kamu, yang adalah orang Makassar dan beragama Islam. Jadi tradisi ini harus tetap dilakukan setiap Ramadhan, agar hubungan silaturrahim kita tidak terputuskan.” Dan ternyata kue kesenangan neneknya dulu adalah kue dadar, kue kesenangan Acong dan Amir juga.
Tetapi tetangga keluarga Acong yang juga orang Tionghoa juga mengantarkan makanan buka puasa ke mesjid, pada hal mereka tidak punya keturunan Makassar. Mereka adalah totok yang kakek-nenek dan moyangnya semua berasal dari Tiongkok. Ketika Ibu Acong bertanya ke ibu Lanny tetangganya, ibu itu hanya menjawab “ Yah saya hanya mengikuti tradisi ibu yang mengirim kue dadar ke mesjid, saya lihat ibu bahagia memberikan buka puasa, jadi saya lakukan juga mengirim kue dadar ke sana. Lagi pula tidak ada larangan, khan, dan pengurus masjid mau menerima pemberian kita….”. Ibunya Acong hanya manggut-manggut dan tersenyum, setuju.
“Apakah orang buka puasa harus kue dadar, yah…” Tanya ibu Lanny.
“Tentu tidak..” Jawab ibunya Acong.
“Karena Acong kadang membawa kue lain pulang ke rumah sehabis buka puasa…” katanya saat hari menjelang sore. (udin bahrum)

Jumat, 11 September 2009

Maq Cammana: PARAWANA TOWAINE YANG BERTAHAN



Parawana Towaine adalah salah satu tradisi (sastra) lisan yang masih bertahan di daerah Mandar (Polman, Majene, dan Mamuju). Kebertahanan kesenian ini masih dilakoni oleh seorang ibu tua; Maq Cammana (72 tahun) dan mengajarkan kepada generasi muda di desanya.

Maq Cammana yang usianya kini semakin uzur, tetap eksis berdaqwah melalui keseniannya. Berbekal sebuah gendang rebana yang berukuran jari-jari 40 cm, Cammana meluncurkan petuah-petuah dan nasehat-nasehatnya kepada audensi yang mengelilingi pertunjukannya di sebuah rumah di Kecamatan Tinambung Polewali Mandar. Biasanya ibu yang sangat disegani dan dicintai oleh anak-anak dan cucunya ini melakukan pertunjukan jauh ke pelosok daerah di Polman, Majene sampai ke Mamuju. Bahkan ia sering di jemput untuk main ke Kalimantan, dan Jawa meninggalkan rumahnya di Desa Limboro Kecamatan Tinambung. Bahkan ulama seniman Emha Ainun Najib beberapa kali melibatkan Maq Cammana berkolaborasi bersama kelompok musik Kyai Kanjeng dan berpentas di Yogyakarta dan Jakarta.


Kesenian Parawana Tawaine (permainan rebana perempuan) tidak lagi ditemukan di daearah Mandar kecuali yang ditekuni oleh Cammana bersama anak cucu dan murid-muridnya. Meskipun di Mandar kesenian rebana masih cukup populer akan tetapi dewasa ini banyak digeluti oleh kaum pria. Kesenian ini biasanya dipertunjukkan dalam masyarakat Mandar dalam acara perayaan akad nikah, khitanan, khatam Quran, memasuki rumah baru, khakikah, dan lain-lain sebagainya.
Parawana Towaine biasanya dibawakan secara solo (tunggal) akan tetapi sering disajikan secara berkelompok dua sampai lima orang perempuan yang bernyanyi secara bersama-sama. Bagian-bagian yang dinyanyikan secara solo biasanya berisi nasehat-nasehat dan bagian ini dibawakan oleh pimpinan kelompok yakni Maq Cammana. Rombongan lainnya menyanyikan lagu-lagu koor. Syair-syair yang dinyanyikan tersebut sepenuhnya berbahasa mandar. Meski demikian Maq Cammana juga menghafalkan beberapa nyanyian yang berbahasa Indonesia (Melayu).

Kesenian Parawana Towaine ini sangat bernuansa Islam. Selain menggunakan alat musik rebana yang merupakan alat musik dari jazirah Arab, syair-syairnya pun adalah nasehat-nasehat yang dilandasi oleh ayat-ayat suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad. Dengan bentuk yang demikian menjadikan kesenian ini sangat dekat dengan masyarakat mandar yang mayoritas beragama Islam yang taat. Bahkan Parawana Towaine yang dikenal sejak awal masuknya Islam ke Mandar (abad 17) dapat bertahan hingga saat sekarang ini.
Ketika Maq Cammana masih remaja kesenian ini banyak digemari. Bahkan ketika itu ia sempat belajar bersama 5 orang kawannya pada seorang guru yang masih terbilang kerabatnya. Kelima orang kawannya itu juga membentuk kelompok di desanya masing-masing. Namun dalam perjalanan waktu, kawan-kawannya itu tidak lagi menggeluti kesenian rebana ini. Bahkan beberapa diantaranya sudah meninggal.
Untung saja masih ada Maq Cammana yang bisa meneruskan kesenian yang terancam punah ini dan bahwa dapat mewariskannya kepada anak dan cucunya serta beberapa generasi muda lainnya. Di rumahnya di Desa Limboro Maq Cammana yang juga dikenal sebagai uztasah ini membangun sebuah sanggar dengan bangunan permanen atas bantuan Pemkab Polman yang peduli atas kesenian Parawana Towaine ini. Di tempat inilah Maq Cammana pada hari-hari tertentu mengumpulkan murid-muridnya untuk belajar bermain rebana sambil menghafalkan syair-syair dakwah yang telah diwariskan secara turun temurun atau dibuat baru (Udin Bahrum - Salma).