Jumat, 03 Desember 2010

Esai Desember

TIKUS-TIKUS


“Tikus….” Menyebutkan nama binatang yang satu ini membuat banyak orang yang tiba-tiba merasa jijik, apa lagi jika membayangkan bagaimana cara hidup binatang ini yang selalu berada di tempat-tempat yang kumuh, kotor, dan bau. Selain itu sifat binatang ini pun kadang membuat kita resah dan dibuat kerepotan karena ulahnya. Tanah di halaman dilobangi untuk membuat sarang, pakaian di lemari di cabik-cabiknya lalu dijadikan alas dalam sarangnya, makanan kita dilahapnya, lalu buang air di sembarang tempat, bahkan ia menyebarkan jenis penyakit tertentu. Ah…..sungguh menjijikkan dan menjengkelkan.

Dalam banyak kebudayaan tikus dijadikan simbol-simbol tertentu. Dalam kebudayaan Tiongkok kuno tikus mendapat perhatian khusus. Tikus masuk salah satu dari sejumlah binatang dalam horoskop (perbintangan) ala Tiongkok. Ia berada sederet dengan Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi. Binatang-binatang ini mewakili 12 siklus tahunan.

Legenda tentang shio, tikus sudah dikenal sebagai binatang licik dan lincah. Sehingga ketika sang pencipta melakukan sayembara untuk memilih binatang yang akan dijadikan petanda waktu, maka tikus menggunakan akal liciknya. Masing-masing binatang disuruh berlomba menyeberangi sungai di suatu pagi, maka dengan licik tikus tidak membangunkan sahabatnya kucing yang suka tidur. Padahal kucinglah yang mengajak tikus ke acara lomba itu. Dengan licik pula tikus melompat di atas punggung binatang-binatang yang lebih besar seperti kerbau, kuda, kambing, dan lain-lain sebagainya, sehingga ia bisa tiba lebih dahulu diseberang. Sehingga sang tikus menjadi simbol pada bulan pertama dalam penanggalan Tiongkok.

Orang yang bershio tikus diramalkan sebagai orang yang selalu menunjukkan daya tarik dan usaha yang tidak kenal lelah. Mereka adalah orang-orang yang hangat dengan kepribadian yang penuh semangat, yang selalu ingin menghasilkan sesuatu. Hal ini sekaligus berarti bahwa ramalan shio tikus bersifat rakus akan kehidupan dan ingin memanfaatkan setiap kesempatan semaksimal mungkin. Para penyandang shio tikus adalah oportunis sejati yang hanya memikirkan kehidupan pada saat ini dan jarang merencanakan hari esok. (punyablog.blogspot.com).

Dalam catatan lontaraq orang Bugis, tikus menjadi simbol yang merusak suatu negeri. Misalnya jika tikus sebagai hama tanaman menyerang padi-padi masyarakat suatu kerajaan maka orang tua bijak mengatakan bahwa terjadi ketidakadilan dalam negeri. Dalam lontaraq ditulis bahwa; “apabila merajalela tikus dalam negeri maka penyebabnya ada pada hakim. Bila tikus makan dengan rakusnya maka pertanda ikut pula keluarga hakim memakan sogok. Jika tikus makan dengan mencabik makanannya, maka pertanda hakim memutuskan perkara dengan tidak adil. Jika tikus makan dengan cara melobangi itu pertanda hakim takut memutuskan perkara secara benar. Jika tikus memakan termasuk yang pahit-pahit maka itu pertanda hakin dengan sengaja melakukan kecurangan. (lontaraq Attoriolong).

Dalam era kekinian di negara kita (Indonesia), tikus dijadikan lambing bagi para koruptor, atau siapa saja yang merusak bangsa ini dari dalam karena memang sudah menjadi karakter tikus untuk merusak dan memakan apa saja untuk menggendutkan perutnya. Tidak perduli apakah makanan itu baik, bersih, kotor, keras, lunah, busuk, semuanya disantapnya. Kadang makanan itu disembunyikan dalam lemari toh ia bisa melibangi dinding lemari yang kuat dengan giginya yang hanya empat itu.

Memang sudah sudah sewajat jika banyak orang yang jijik terhadap tikus. Suatu waktu tikus harus dibasmi jika populasinya sudah terlalu banyak. Termasuk tikus-tikus yang berkeliaran di kantor-kantor negara di negeri ini. terutama tikus sejenis Gayus dan koloninya.

Kamis, 02 Desember 2010


LIANG (Kuburan Tradisional Toraja)

Tak Terpisahkan dari Tongkonan

Shaifuddin Bahrum


Dalam masyarakat Toraja, Tongkonan adalah bangunan rumah adat yang menyatukan seluruh keluarga dalam satu rumpun ketika masih hidup. Tetapi ketika mereka sudah meninggal masyarakat kembali dikumpulkan dalam satu Liang (kuburan batu).

Liang Batu, milik masyarakat adat Toraja. (Foto: Int)


Dahulu orang Toraja menguburkan mayat-mayat keluarga mereka di dalam goa-goa gunung batu yang tinggi. Hal ini dilakukan dengan dasar kepercayaan bahwa semakin tinggi suatu tempat maka si mati akan semakin dekat dengan dunia puya (sorga).


Mayat-mayat dalam Erong yang disimpan ditebing-tebing gunung batu. (foto: Int)


Penguburan dilakukan dengan jalan mayat di masukkan ke dalam peti setelah dikafani (dibalun) . Peti yang berukuran besar terbuat dari kayu bulat yang dipahat. Peti ini disebut dengan erong. Bagian luar erong diberi ukiran sesuai dengan kasta pemiliknya. Kadang berbentuk kepala binatang seperti babi atau kerbau. Setelah itu erong dimasukkan ke dalam goa atau digantung di tebing-tebung gunung batu.



Liang Batu yang di buat pada bongkahan batu gunung. (Foto: Hartono)


Kuburan tradisional orang Toraja pada masa berikutnya setelah goa-goa sudah termiliki oleh keluarga-keluarga terdahulu maka dibangun di atas bukit-bukit batu. Kuburan ini dibuat dengan jalan memahat batu-batu gunung sehingga membentuk sebuah lubang –lubang besar. Sebuah bangunan dengang berukuran 2 x 2 meter (atau lebih) dengan tinggi 2 meter sehingga orang dewasa bisa berdiri di dalamnya. Pintu liang yang menghadap keluar dibuat sebesar 1 x 1 meter. Kuburan seperti ini disebut dengan liang paq.

Untuk mencapai tempat yang tinggi untuk memasukkan mayat ke dalam liangnya maka dibutuhan tangga yang berpuluh-puluh meter tingginya. Tangga ini dibuat dari beberapa buah batang bambu yang disambung-sambung hingga mencapai mulut liang. Peti/ erong diangkat dengan jalan menderetnya naik menggunakan tali.

Mamahat Liang Batu (foto: Hartono)


Dewasa ini di Tana Toraja banyak daerah yang tidak lagi memilki gunung-gunung batu yang dapat dipahat sehingga masyarakat membuat liang dengan jalan membangun dari beton, batu bata dan campuran semen-pasir. Liang ini disebut Liang Pantane. Liang seperti ini sudah menyerupai bangunan rumah yang dilengkapi dengan atap yang kadang dibuat seperti tongkonan (rumah adat), meskipun tidak memiliki kamar-kamar dan dapur. Pantane juga tidak memiliki jendela dan pintu seperti rumah biasa. Pintu pantane tetap berukuran kecil yakni 1 x 1 meter. Pada masa sekarang orang toraja tidak lagi menggunakan erong tetapi sudah diganti dengan peti mayat yang sudah lebih modern.


Pantane, Liang yang terbuat dari beton (Foto: Int)


Mayat yang dibawa ke liang setelah melalui upacara yang panjang sesuai dengan kasta masing-masing. Di dalam liang mayat yang berada didalam peti letakkan di bagian tengah lalu ditinggalkan kemudian pintu liang ditutup rapat kembali. Sehingga tidak ada lagi manusia atau binatang yang bisa masuk dalam waktu tertentu.

Liang dalam bentuk apapun selalu bertahan berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan ada yang sudah ratusan tahun usianya. Liang, seperti halnya tongkonan dipelihara, diwarisi, dan dipertanggungjawabkan oleh segenap anggota keluarga. Dalam sistem pewarisan dalam keluarga tongkonan, liang adalah salah satu bagian yang ikut terwariskan, karena Liang merupakan bagian atau pasangan dari tongkonan yang disebut juga dengan” tongkonan tangmarambuk” yang berarti “ rumah adat yang tidak berasab”. (sumber: Tangdilintin)

Lahirlah Puisi…. Lahirlah.....


Puisi lahir jadi debu-debu muntah dari perut gunung berapi
meleleh jauh mencari muara dilukuk hati yang bertapa hingga bening hari
mencari tanya dilangit kelam sambil ngobrol soal luka yang tertoreh kemarin
dan wajah kita tak sempat bertemu cermin untuk mencari bayang yang

kita tinggalkan dalam lipatan air mata yang kita tampung dalam bejana rindu

lalu cinta kita tebar sepanjang jalan berbecek yang kita lewati penuh lumpur

Mari.....mari lahirkan puisi

jadi air mata....

jadi senyuman...

jadi kenangan....

jadi tangis anak-anak yatim di tepi jalan.....

jadi tangis para istri yang ditinggal suaminya berbohong.....

jadi dendam bagi suami yang ditinggal istrinya selingkuh.......

jadi gelisah para koruptor ditahanan jiwanya......

jadi mimpi buruk para penderita aids dilorong sempit........

jadi apa saja di langit dan di laut tanpa batas dan tanpa dasar....

yang melobangi dada jadi hampa.......

Lahirlah puisi.....lahirlah

Selasa, 02 November 2010

TONGKONAN TORAJA

oleh: Shaifuddin Bahrum


Rumah bagi setiap keluarga menjadi tempat berlindung dari berbagai gejala alam seperti sengatan matahari dimusim kemarau atau dari guyuran air hujan pada musim penghujan. Rumah juga tempat berlindung dari cuaca dingin dan hembusan angin.

Rumah juga dibangun untuk memberi rasa aman dari berbagai ancaman yang ada di alam. Baik dari serangan binatang buas maupun dari ancaman musuh-musuh manusia sendiri. Sehingga rumah dibangun dari bahan-bahan yang kuat dan tidak mudah rusah seperti batu, kayu, besi, dan sebagainya.

Dalam masyarakat Toraja, rumah disimbolkan dengan kata Tongkonan. Namun kata ini tidak hanya berarti sebagai rumah tempat untuk berteduh atau berlindung dari berbagai gejala alam atau untuk mendapatkan rasa aman akan tetapi Tongkonan juga menjadi pusat pemerintahan kaum adat.

Tongkonan secara fisik adalah sebuah bangunan rumah adat yang atapnya berbentuk tanduk kerbau atau lebih mirip dengan bentuk badan perahu. Selain atap rumah yang besar yang terbuat dari bambu, badan rumah biasanya terbuat dari papan yang pada bagian luarnya diberi gambar/ukiran khas Toraja yang memiliki makna tersendiri. Jenis ukiran atau patung yang dipasang pada bangunan rumah menunjukkan kasta pemilik Tongkonan. Pada kasta yang tinggi di depan bangunan Tongkonan terpasang ukiran/patung katiq dan kabongngo (ayam dan kerbau).

Tongkonan selalu dibangun menghadap ke utara dan di depannya (sebelah utara) berdiri berhadah sebuah lumbung padi dengan bentuk bangunan yang sama namun dalam ukuran yang lebih kecil. Hal ini terkait dengan system kepercayaan Aluk Todolo yang merupakan kepercayaan (religi) tradisional yang di anut oleh sebagian besar orang Toraja. Mereka percaya bahwa dibagian utara itulah bermukim Puang Matoa (sebagai penguasa tertinggi di alam raya ini). Selain lumbung, juga terdapat liang atau kuburan keluarga yang juga menjadi pasangan atau pelengkap tongkonan. Makam keluarga ini biasa disebut juga dengan “Tongkonan tan marambu” (rumah yang tidak berasab).

Setiap kelompok adat di Tana Toraja selalu ditandai dengan sebuah atau beberapa buah Tongkonan. Setiap Tongkonan mengayomi sebuah rumpun keluarga menurut garis keturunan dari nenek hingga ke cucu dan cicitnya. Sehingga Tongkonan dikenal pula dengan sebutan rumah nenek. Setiap anggota keluarga Tongkonan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap sebuah tongkonan.

Sebuah Tongkonan memiliki harta benda bukan hanya pada bangunannya saja akan tetapi juga memiliki tanah persawahan, tanah kering, dan sejumlah ternak dan tanah halaman tongkonan. Tetapi semua harta milik tongkonan tersebut tidak bisa dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota tongkonan. Untuk mendapatkan hasil dari harta tongkonan ini ditentukan oleh seberapa besar pengabdian seorang anak atau cucu kepada orang tuanya pada saat meninggal.

Tongkonan di Tana Toraja terdapat dua jenis yakni, Tongkonan yang memiliki fungsi adat dan tongkonan yang hanya menjadi rumah biasa. Tongkonan yang memiliki fungsi adat di sebut juga sebagai Tongkonan Kaparenggesan atau Kapuangan yang dipimpin oleh seorang To Parengngeq atau seorang Puang Lembang yang juga berfungsi sebagai ketua dewan adat.

Ketua adat dipilih dalam sebuah musyawarah keluarga (kombongan) secara mufakat. Mereka yang dipilih selain karena orang sudah berusia lebih dewasa/ tua dari yang lainnya ia harus pula memiliki sifat yang senantiasa melindungi, dan menyayangi anggota keluarganya. Tidak kalah pentingnya seorang figur ketua adat harus mengerti dan memahami aturan-aturan adat dan budaya dalam masyarakat Toraja.

Seorang ketua adat dalam sebuah Tongkonan akan senantiasa menjaga keharmonisan hubungan kekeluargaan dalam kelompoknya. Harus selalu dijaga jangan sampai terjadi perselisihan diantara mereka. Juga jika terjadi permasalahan dalam keluarga maka mereka akan mengadu kepada To Parengngeq atau Puang Lembang. Terutama jika terjadi masalah yang menyangkut adat dan budaya Toraja.

Dalam kepemimpinan pada sebuah Tongkonan, To Parengnge dibantu oleh beberapa orang yang ikut mengurusi keperluan anggotanya. Pembagian tugas ini akan terlihat dengan jelas jika dilakukan upacara pemakaman anggota Tongkonan.

Fungsi Tongkonan akan tampak dengan jelas ketika terjadi kematian adalam keluarga dan akan melakukan upacara pemakaman. Anggota keluarga selalu akan diberi penghormatan dengan mengupacarakannya di Tongkoanan. Seluruh keluarga akan berkumpul dan bekerja secara gotong royong dan melaksanakan tugasnya masing-masing .