Jumat, 23 April 2010

..


Jalan Timor; Jalan Pintu Dua; Jalan Janda

David Aritanto


Pintu Gerbang Daerah Pecinan Kota Makassar

Pecinan atau Kampong Cina tempo doeloe adalah sebuah wilayah yang cukup ramai di Makassar. Pasalnya karena pemukiman penduduk Tionghoa ini berdekatan dengan Pelabuhan. Salah satu poros jalan yang sangat ramai adalah Jalan Pintu Dua, sekarang adalah jalan Timor.

Awalnya daerah Kampong Cina atau Pecinan tidak terlalu luas. Ia hanya berada di sepanjang Jalan Nusantara dan Jalan Sulawesi (sekarang). Daerah Kampong Cina berhadapan langsung dengan Pelabuhan Makassar.

Sejak 1740, Belanda menerapkan peraturan wijkenstelsel atau peraturan kepada orang Tionghoa untuk menempati tempat pemukiman tertentu, maka sejak itulah masyarakat Tionghoa diawasi gerak geriknya. Sehingga untuk masuk ke daerah Kampong Cina di buat satu pintu semacam gerbang untuk dapat mengawasi mereka yang keluar-masuk ke daerah itu.

Di Makassar pintu tersebut adalah Jalan Pintu Dua yang kini dikenal sebagai Jalan Timor. Jalan ini dinamai demikian bukan karena ada Pintu Satu tetapi karena memiliki dua pintu yakni pintu masuk dan pintu keluar dari daerah Kampong Cina. Dahulu jalan ini juga dinamai Jalan Muis (Mouis-Straat) sebelum menjadi Pintu Dua. Di sebelah barat berpotongan dengan Jalan Lombok. Di tempat inilah dahulu terdapat pintu gerbang dan pos penjagaan Belanda yang menjadi akses menuju pelabuhan.



Jalan Pintu Dua juga menjadi sarana untuk bisa tembus ke daerah pekuburan Tionghoa (Kampong Jeraq = Pemakaman/Bahasa Makassar) yang kini menjadi Jalan Dr. Wahidin Soedirohusodo dan Makassar Mall (dulu Pasar Sentral).

Di sepanjang Jalan Pintu Dua dihuni oleh para pedagang dan pengusaha, mulai dari tukang cukur, tukang sepatu, tukang gigi, tukang kayu, penjual kopi, dan berbagai toko yang berjualan berbagai macam kebutuhan.

Mengapa “Jalan Janda”?

Berhubung jalan ini merupakan salah satu jalan yang dapat dilalui menuju pemakaman sehingga setiap hari di jalan ini warganya mendengar berulangkali bunyi suara serine mobil jenazah (ambulance) yang mengantar mayat ke pemakaman. Sehingga suara serine itu menjadi simbol bahwa jika ada suami yang mati maka akan meninggalkan jandanya. Kata janda inilah yang kemudian melekat menjadi julukan Jalan Pintu Dua, ketika itu.

Mereka yang dulu pernah tinggal di sana sangat terkesan dengan suara serine yang berkali-kali bisa didengar setiap hari. Lantara orang mereka ketika itu akan menutup telinga anak-anaknya jika ada mobil jenazah yang lewat. Katanya “supaya tidak mendengar sapaan arwah jenazah”, kenang Syah (73) yang dulu tinggal di sana. Jadi begitulah jalan ini disebut sebagai Jalan Janda. (ghe’-udin)