Selasa, 02 November 2010

TONGKONAN TORAJA

oleh: Shaifuddin Bahrum


Rumah bagi setiap keluarga menjadi tempat berlindung dari berbagai gejala alam seperti sengatan matahari dimusim kemarau atau dari guyuran air hujan pada musim penghujan. Rumah juga tempat berlindung dari cuaca dingin dan hembusan angin.

Rumah juga dibangun untuk memberi rasa aman dari berbagai ancaman yang ada di alam. Baik dari serangan binatang buas maupun dari ancaman musuh-musuh manusia sendiri. Sehingga rumah dibangun dari bahan-bahan yang kuat dan tidak mudah rusah seperti batu, kayu, besi, dan sebagainya.

Dalam masyarakat Toraja, rumah disimbolkan dengan kata Tongkonan. Namun kata ini tidak hanya berarti sebagai rumah tempat untuk berteduh atau berlindung dari berbagai gejala alam atau untuk mendapatkan rasa aman akan tetapi Tongkonan juga menjadi pusat pemerintahan kaum adat.

Tongkonan secara fisik adalah sebuah bangunan rumah adat yang atapnya berbentuk tanduk kerbau atau lebih mirip dengan bentuk badan perahu. Selain atap rumah yang besar yang terbuat dari bambu, badan rumah biasanya terbuat dari papan yang pada bagian luarnya diberi gambar/ukiran khas Toraja yang memiliki makna tersendiri. Jenis ukiran atau patung yang dipasang pada bangunan rumah menunjukkan kasta pemilik Tongkonan. Pada kasta yang tinggi di depan bangunan Tongkonan terpasang ukiran/patung katiq dan kabongngo (ayam dan kerbau).

Tongkonan selalu dibangun menghadap ke utara dan di depannya (sebelah utara) berdiri berhadah sebuah lumbung padi dengan bentuk bangunan yang sama namun dalam ukuran yang lebih kecil. Hal ini terkait dengan system kepercayaan Aluk Todolo yang merupakan kepercayaan (religi) tradisional yang di anut oleh sebagian besar orang Toraja. Mereka percaya bahwa dibagian utara itulah bermukim Puang Matoa (sebagai penguasa tertinggi di alam raya ini). Selain lumbung, juga terdapat liang atau kuburan keluarga yang juga menjadi pasangan atau pelengkap tongkonan. Makam keluarga ini biasa disebut juga dengan “Tongkonan tan marambu” (rumah yang tidak berasab).

Setiap kelompok adat di Tana Toraja selalu ditandai dengan sebuah atau beberapa buah Tongkonan. Setiap Tongkonan mengayomi sebuah rumpun keluarga menurut garis keturunan dari nenek hingga ke cucu dan cicitnya. Sehingga Tongkonan dikenal pula dengan sebutan rumah nenek. Setiap anggota keluarga Tongkonan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap sebuah tongkonan.

Sebuah Tongkonan memiliki harta benda bukan hanya pada bangunannya saja akan tetapi juga memiliki tanah persawahan, tanah kering, dan sejumlah ternak dan tanah halaman tongkonan. Tetapi semua harta milik tongkonan tersebut tidak bisa dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota tongkonan. Untuk mendapatkan hasil dari harta tongkonan ini ditentukan oleh seberapa besar pengabdian seorang anak atau cucu kepada orang tuanya pada saat meninggal.

Tongkonan di Tana Toraja terdapat dua jenis yakni, Tongkonan yang memiliki fungsi adat dan tongkonan yang hanya menjadi rumah biasa. Tongkonan yang memiliki fungsi adat di sebut juga sebagai Tongkonan Kaparenggesan atau Kapuangan yang dipimpin oleh seorang To Parengngeq atau seorang Puang Lembang yang juga berfungsi sebagai ketua dewan adat.

Ketua adat dipilih dalam sebuah musyawarah keluarga (kombongan) secara mufakat. Mereka yang dipilih selain karena orang sudah berusia lebih dewasa/ tua dari yang lainnya ia harus pula memiliki sifat yang senantiasa melindungi, dan menyayangi anggota keluarganya. Tidak kalah pentingnya seorang figur ketua adat harus mengerti dan memahami aturan-aturan adat dan budaya dalam masyarakat Toraja.

Seorang ketua adat dalam sebuah Tongkonan akan senantiasa menjaga keharmonisan hubungan kekeluargaan dalam kelompoknya. Harus selalu dijaga jangan sampai terjadi perselisihan diantara mereka. Juga jika terjadi permasalahan dalam keluarga maka mereka akan mengadu kepada To Parengngeq atau Puang Lembang. Terutama jika terjadi masalah yang menyangkut adat dan budaya Toraja.

Dalam kepemimpinan pada sebuah Tongkonan, To Parengnge dibantu oleh beberapa orang yang ikut mengurusi keperluan anggotanya. Pembagian tugas ini akan terlihat dengan jelas jika dilakukan upacara pemakaman anggota Tongkonan.

Fungsi Tongkonan akan tampak dengan jelas ketika terjadi kematian adalam keluarga dan akan melakukan upacara pemakaman. Anggota keluarga selalu akan diberi penghormatan dengan mengupacarakannya di Tongkoanan. Seluruh keluarga akan berkumpul dan bekerja secara gotong royong dan melaksanakan tugasnya masing-masing .

PELARI ESTAFET

oleh: Shaifuddin Bahrum

Dalam olahraga atletik dikenal nomor lari estafet. Nomor ini terbagi atas dua kejuaraan yakni nomor etafet 4 x 100 meter dan 4 x 400 meter. Masing-masing kejuaraan diikuti oleh 4 orang pelari dalam satu regu (tim). Masing-masing pelari akan berlari secara bergantian pada jarak yang sama. Misalnya masing-masing 100 meter atau 400 meter.

Untuk meraih gelar juara dalam olahraga ini setiap tim harus mengejar waktu tercepat. Dalam pembentukan tim biasanya seorang pelatih akam memilih pelari tercepat pada nomornya masing-masing. Akan tetapi setiap pelari biasanya memiliki pencapaian waktu tercepat yang berbeda-beda. Hal tersebut tidak masalah yang penting empat orang yang dipilih adalah pelari yang terbaik waktunya.

Dalam perlombaan sang juara juga ditentukan oleh strategi menempatkan sang pelari dalam urutan. Pada umumnya pelatih akan menempatkan pelari yang terbaik waktunya sebagai pelari yang pertama. Karena sebagai pelari yang pertama akan menentukan star awal untuk mencapai prestasi waktu terbaik. Sehingga jika pelari pertama sudah meraih waktu terbaiknya maka secara otomatis pelari keduapun termotifasi untuk mempertahankan prestasi yang telah dicapai temannya. Sehingga ia berupaya untuk berlari lebih cepat dari biasanya.

Hal buruk kadang terjadi jika pelari pertama harus tertinggal dari lawan-lawannya sehingga pelari berikutnya akan dengan susah payah melakukan pengejaran terhadap lawan-lawannya. Jika hal ini tidak tercapai maka hal terburuk pelari berikutnya akan mengalami kendala psikologis yang bias membuatnya merasa putus asa.

Demikian pula dalam sebuah usaha yang diperkirakan akan berlangsung lama dan diibaratkan menjadi ajang usaha estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketika memulai usaha tersebut harus diawali dengan sebuah konsep yang matang. Agar sebagai pelari awal kita sudah meraih prestasi yang maksimal.

Jika stas awal dari usaha tersebut sudah mencapai prestasi yang maik maka ketika tongkat estafet akan diserahkan kepada pelanjut usaha tersebut maka sang pelanjut akan termotifasi untuk mempertahankan prestasi yang sudah dicapai. Lebih baik lagi jika ia mampu mengembangkan usaha yang diserahkan padanya untuk menjadi lebih baik.

Demikian halnya dengan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Pergantian pemimpin telah berulang kali dilakukan. Setiap pemimpin ingin melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap presiden memiliki kelemahan dan kekurangannya masing-masing.

Tidak semua pemimpin mencapai prestasi yang sama gemilangnya. Karena setiap tahapan memiliki kendalanya masing-masing. Ada presiden yang dengan cerdas dapat mengetahui persoalan yang dihadapinya dan tahu bahaimana menjawab tantangan tersebut. Presiden yang lain berkuasa dan menghadapi situasi yang chaos dan sulit dikendalikan sehingga pemimpin tersebut tidak bias berbuat banyak selain hanya memperbaiki situasi saja. Sementara presiden yang lainnya sudah mengerti masalah yang terjadi, tahu pula cara mengatasinya, tapi berbagai masalah juga muncul menghambatnya yang membuatnya ragu untuk bertindah dan halnya menjadi tidak maksimal. Tapi kita selalu yakin bahwa sebagai pelari estafet kita harus selalu berupaya untuk berlari lebih cepat untuk meraih waktu terbaik, meraik prestasi terbaik……. Semoga.

Demo, Demo, dan Demo lagi….

Oleh: Shaifuddin Bahrum


Seorang ibu yang sedang hamil tua menjerit-jerit kesakitan di jok bagian tengah ditemani seorang ibu tua. Sementara sang suami sedang keringatan di balik setir mobilnya, meskipun AC mobil itu sudah menunjukkan di angka tiga. Di luar sana mobil-mobil sedang antre panjang dalam kemacetan karena dua ratus meter di depan mahasiswa sedang melakukan orasi dalam demo yang menutup hampir semua badan jalan.

Pada saat berikutnya sang ibu tua di bangku tengah sedikit berteriak, “Haaaaaa… basah…, ketubannya pecah….”

Sang ibu hamil menggigit bibirnya menahan kesakitan sementara di dahinya keringat keluar berbutir-butir laiknya lalu membasahi sebuah kain sarung yang sudah disiapkan. Sang suami masih dengan penuh gelisah menekan klakson keras-keras sambil menahan rasa gugup dan stres yang dialaminya. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa sampai dengan segera di rumah sakit bersalin terdekat.

Di atas sebuah truk hasil sanderaan yang dijadikan mimbar, seorang mahasiswa dengan penuh semangat berteriak-teriak menyampaikan orasinya melalui sebuah megaphone. Berkali-kali ia menyebut kata rakyat dalam kalimat-kalimat yang bergelora.

“Kita berjuang untuk rakyat... kita bebaskan rakyat dari kesewenang-wenangan pemerintah... rakyat harus menikmati arti kemerdekaan... kita antar rakyat ke gerbang kesejahteraan…. kita adalah rakyat yang harus mendapat perlindungan negara…. Hidup rakyat…. Hidup rakyat…. Hidup rakyat.…” Dan entah berapa kali lagi kata rakyat diulang-ulang oleh para pendemo itu. Sementara matahari kian menusuk ubun-ubun para pengendara motor yang juga terhalang kemacetan. Setiap kendaraan harus menunggu berjam-jam agar bisa terbebas dari sana, tetapi orasi mahasiswa terus mengalir bagai tak ada habis-habisnya. Sementara pendemo yang tak diberi kesempatan berdemo terus saja menjaga ruang yang sudah dikaplingnya di atas jalanan sambil membakar ban bekas. Bahkan beberapa orang berjaga-jaga dan berusaha memacetkan jalan. Para pendemo itu terlihat bangga karena sudah membuat kemacetan di jalan.

Hampir di setiap negara yang menghargai dan menjunjung tinggi demokrasi selalu akan diwarnai dengan aksi demonstrasi. Aksi jalanan ini merupakan salah satu bentuk atau sarana untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam demontrasi kepentingan rakyat selalu dikedepankan, yang kadang harus berhadap-hadapan dengan kebijakan pemerintah.

Mahasiswa, ilmuwan, akademisi, karyawan menengah, pengusaha kelas bawah, kalangan profesional, wartawan, dan cendikiawan, adalah kelompok menengah yang sering memelopori dilakukannya demonstrasi. Setiap isu yang diangkat selalu berdasarkan kajian yang telah melalui diskusi panjang.

Tetapi apa jadinya jika demo-demo yang mengatasnamakan “rakyat” membuat masayarakat menjadi menderita karena terhalang melakukan aktivitas penting mereka, terlambat bekerja, tidak bisa berdagang dengan baik, lagi pula harus kepanasan di jalan yang macet, menghabiskan BBM kendaraan yang cukup banyak. Dan membuat seorang ibu hamil menderita di dalam sebuah mobil….

Setelah lebih dua jam antre di jalan macet itu, mobil yang ditumpangi sang ibu hamil baru bisa terbebas. Sang suami dengan tergesa-gesa menginjak pedal gas mobilnya kuat-kuat, sehingga mobil tersebut melaju menuju rumah sakit bersalin terdekat.

Setibanya di sana, sang ibu buru-buru dimasukkan ke dalam ruang bersalin dibantu oleh beberapa orang perawat dan bidan. Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruang bersalin dan mencari suami sang ibu hamil. Ia mengabarkan bahwa anak dalam kandungan istrinya sudah meninggal akibat kekeringan lantaran telat dikeluarkan….

Sekujur tubuh sang suami terasa lemas, rasanya ia ingin tumbang… tetapi ia segera sadar dan mengingat istrinya…..

“Ibunya bagaimana, Dokter?” tanyanya dengan penuh harap.

“Ibunya masih kritis kami harus melakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Mohon anda menandatangani administrasinya,” jawab sang dokter.

Sang suami pun melakukan semua petunjuk dokter, dengan dada bergemuruh riuh: “Ini semua gara-gara demo!”

Lalu demo untuk siapa, kalau begini kejadiannya?