Tertarik untuk menuliskan dengan judul seperti diatas karena tergoda oleh
dua kasus yang mengemuka belakangan ini: pertama adalah munculnya beberapa
calon presiden yang mengorek-morek masalah etnik (Tionghoa), Kedua adalah kasus
di Kota Makassar Pasca Pemilukada Gubernur Sulsel.
Warisan Sejarah dan Politik yang Salah
Masalah kesukubangsaan
atau etnitas bangsa Indonesia semestinya sudah selesai pada tahun 1928, ketika
dicetuskannya Sumpah Pemuda oleh para pemuda dari suku bangsa di seluruh
nusantara ini. Sumpah Pemuda tersebut seakan meruntuhkan tembok-tembok etnit
yang memisahkan nusantara menjadi kelompok-kelompok kecil menjadi sebuah bangsa
yang besar dalam bentuk kesatuan yang berdaulat di bawah sebuah nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan untuk
merealisasikan cita-cita bangsa untuk merdeka dilakukan bersama-sama oleh semua
etnik di Nusantara ini termasuk etnik yang datang dari luar dan hidup sebagai
anak bangsa Indonesia seperti Arab, Melayu, India, dan Tionghoa (Cina). Mereka juga ikut berjuang untuk memerdekakan dan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka juga bergelimang
keringat, air mata, darah dan gugur sebagai kusuma bangsa.
Sehingga pada awal-awal
kemerdekaan dan dalam kabinet pemerintahan RI tergambar keanekaragaman suku
etnik dalam elit pemerintakan negara ini. Tidak hanya dimonopoli oleh satu suku
bangsa, akan tetapi hampir semua etnik mendapat bagian sebagai bentuk
penghargaan kepada suku bangsa yang ada dan juga sekaligus untuk menyatakan
bahwa NKRI bukan milik suku bangsa atau golongan tertentu saja. Termasuklah di
dalamnya beberapa orang Tionghoa yang
sempat duduk dalam Kabinet 100 Mentri yang dipimpin Soekarno, antara lain Mr.
Oei Tjoe Tat, H. Muh. Hasan alias Tan Kiem Liong, dan Ir. David Chang.
Harus selalu disadari
dan diingat, bahwa perjalanan bangsa Indonesia dalam rentang waktu bukanlah perjalanan yang mulus
bergerak maju dengan lancar. Akan tetapi perjalanan di alam kemerdekaannya pun
mengalami berbagai rintangan, hambatan, tantangan, gejolak, yang membuat
perjalanan menjadi tidak lurus akan tetapi kadang harus membelok tajam dan
melewati jalan yang berliku. Kasus Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) adalah satu titik musibah bangsa ini yang membuat banyak
orang terseret-seret kedalamnya, baik mereka sadari maupun tidak. Dalam kasus
ini kembali tidak memilih satu suku bangsa tetapi juga melibatkan sejumlah
etnik yang ada di Indonesia. Mereka yang terlibat dengan PKI menyebar di
suluruh nusantara. Hanya saja celakanya ketika itu segelintir orang yang
tergabung dalam Badan Perjuangan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) organisasi
yang mayoritas Tionghoa terlibat dalam jaringan PKI. Sehingga ketika itu semua
orang Tionghoa dicap sebagai orang komunis. Pada hal keadaannya tidak demikian
yang terlibat betika itu hanya oknum-oknum tertentu saja. Itu lah musibah
terbesar orang Tionghoa di negara ini, yang kemudian tertanam dalam benak
rakyat Indonesia selama hampir 40 tahun
yang ditanamkan oleh Orde Baru.
Kesadaran Sejarah dan Politik
Jika kita menyadari
kejadian yang telah lalu maka alangkah bodohnya jika kita kembali mewarisi
sebuah kesalahan sejarah dan perpolitikan yang pernah terjadi. Kesalahan dengan
mengotak-kotakkan bangsa Indonesia dalam ruang-ruang sempit etnitas dan mewarisi
pergerakan politik dengan membuat garis-garis yang memisahkan etnik dalam
rangkulan kekuasaan tertentu, tanpa bisa melihat untuk membuat suatu rangkulan
kekuasaan yang lebih besar pada semua suku bangsa yang ada di negara ini.
Belakangan ini tercuat
kembali masalah tersebut dalam wacana sosial politik kita. Katakan lah dengan
adanya beberapa orang yang mencalonkan diri sebagai calon presiden RI pada
pemilu yang akan datang, masih menjadikan persoalan besar masalah etnik
(Tionghoa) sebagai hal yang mendorongnya untuk mau maju mencalonkan diri
menjadi presiden. Bahkan mereka melihat bahwa orang Tionghoa masih di tempatkan
sebagai warga nomor dua di negara ini yang belum pantas untuk masuk dalam percaturan
kekuasaan negara. Hal ini menunjukan bahwa mereka masih terkungkung dalam
warisan sejarah dan politik yang salah. Bahkan mungkin mereka masih menginginkan
untuk melanjutkan dan mewariskan kesalahan itu untuk generasi yang akan
datang.
Jika hal ini dibiarkan
maka cara berpikir kita akan kembali mundur jauh kebelakang sebelum lahirnya
Sumpah Pemuda. Semestinya kita sudah berpikir bahwa bangsa ini bisa dipimpim
oleh siapa saja Warga Negara Indonesia dari suku mana pun dia. Yang penting di
berkompetensi dan memiliki kapasitas yang cukup untuk dapat memahami persoalan
yang ada dan membangun bangsa ini ke depan untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Kasus yang kedua muncul
di Sulawesi Selatan pasca Pilkada Gubernur. Masyarakat Tionghoa menjadi sasaran
kemarahan atas sejumlah pendukung calon yang kalah, lantara di daerah-daerah
pemukiman konsentrasi masyarakat Tionghoa mayoritas memilih/ mendukung calon
yang menang. Pada hal dibeberapa daerah atau wilayah di kota Makassar yang
dihuni mayoritas etnis tertentu juga
mendukung pasangan gubernur yang menang, tapi mereka tidak melakukan aksi marah
disana. Aneh khan....?
Penomena ini kembali
menunjukkan adanya pemahaman yang salah terhadap sejarah dan sistem politik
kita. Mereka masih mewarisi kemarahan
yang ditinggalkan oleh sejarah yang salah dan menganggap bahwa etnik Tionghoa
bagian yang terpisahkan dari kesatuan masyarakat Indonesia. Mereka belum
menyadari bahwa kemenangan dan kekalahan dalam politik bukanlah masalah etnik
akan tetapi menyangkut dalam hal kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Etnik Tionghoa dan Nasionalisme
Dengan lahirnya
Undang-undang Kewarganegaraan, nomor12, 2006 dan Undang-undang Diskriminasi memberikan
kesempatan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk menunjukkan
dirinya sebagai anak bangsa yang memiliki kecintaan yang tidak kalah dari etnik
lainnya yang ada di Indonesia ini. Partisipasi sudah mesti ditunjukkan mulai
dari kelompok masyarakat terbawah di tingkat RT-RW hingga ketingkat Negara.
Kepedulian terhadap
berbagai masalah dalam masyarakat harus bisa ditunjukkan dengan baik. Gerakan
menghapuskan pencitraan buruk yang ditinggalkan oleh kesalahan masa lalu harus
bisa dihapuskan dengan berbagai upaya dan kerja keras. Meskipun tentu bukan hal
yang mudah dan bisa dilakukan dalam kurun waktu yang singkat.
Namun dewasa ini harus
diakui bahwa kondisi kesadaran nasionalis kita sudah kian terbangun dengan
baik. Kecerdasan masyarakat sudah semakin meningkat sehingga kesaradan pluralis
pun kian membantuk kekenyalan masyarakat menuju masyarakat yang bersatu padu
membangun bangsanya.
Hanya saja harus tetap
diwaspadai segelintir orang yang masih senang memelihara kemarahan masa lalu
dan keterkungkungan dalam cakrawala berpikir sempit yang diwariskan padanya.
Karena orang-orang semacam ini senantiasa mencari teman dan berpropokasi
mencari dukungan untuk memecah-belah masyarakat yang bersatu. Jadi Waspadalah.
Makassar, 08-02-13
Pengamat Sosial Budaya
Dosen Univ. Muhammadiyah Makassar