Sabtu, 31 Desember 2011

MASYARAKAT TIONGHOA MAKASSAR

BANTU MESJID CHENG HO


Masyarakat Tionghoa Makassar multi agama secara spontan membantu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang sedang merencanakan pembangunan Mesjid Cheng Ho. Pengumpulan dana itu di lakukan sebara spontan dalam acara Tutup dan Sambut tahun Baru 2011/ 2012 dan Ulang Tahun Perkawinan ke 32 tahun Ir Arwan Tjahjadi dan Fientje di Restoran Hotel Losari Beach.

Acara yang digelar 28-12 malam tersebut berlangsung sederhana dan dihadiri sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa di Makassar. Disela-sela acara inti kegiatan tersebut Arwan Tjahjadi memperkenalkan tamu-tamunya yang hadir satu persatu, dan di antara mereka turut hadir sejumlah pengurus PITI. Pada akhir perkenalan Arwan mengundang Ketua DPW PITI Sulsel Drs. Sulaiman Gosalam, M.Si. dan Ketua Pembangunan Mesjid Cheng Ho H. Suhardi, SE. ke atas pentas. Arwan kemudian memberikan penjelasan kepada kawan-kawannya betapa pentingnya arti masjid Cheng Ho bagi masyarakat Tionghoa di Kota Makassar dan daerah ini.

Menurut Arwan, “Mesjid Cheng Ho tidak hanya bermanfaat bagi warga PITI, akan tetapi masjid yang dibangun dengan arsitektur Tiongkok itu akan mengubah citra masyarakat Tionghoa yang selama ini masih negatif dalam pikiran banyak orang di daerah ini. Sehingga pembangunan masjid ini perlu dibantu secara bergotong royong oleh masyarakat Tionghoa.”.

Malam itu terkumpul secara spontan uang tunai sebanyak Rp. 38 Juta sementara sejumlah tamu lainnya langsung mengirim melalu transfer langsung ke rekening panitia yang diedarkan malam itu. Dalam daftar nama penyumbang panitia tercatat nama-nama antara lain; Henry Karlam, Kuandi Jita, Ronni Japasal, Hendra Witanto, Phie Benny, Ricky, dan WALUBI Sulsel.

Pada malam itu terjalin kerja sama antara PITI Sulsel dengan Bank Hasamitra yang akan membantu mengkoordinir penggalangan dana pembangunan masjid Cheng Ho melalui Arisan Tabungan Umat. Arisan ini akan mengumpulkan peserta sebanyak 250 orang dan akan berlangsung selama 3 tahun. Pada akhir arisan nanti peserta akan mendapatkan uangnya kembali sejumlah yang telah ia tabung. Untuk mencukupkan jumlah anggota arisan pengurus piti mengharapkan kesediaan masyarakat Kota Makassar untuk turut serta menabung sambil beramal. Demikian himbau Arwan Tjahjadi dan Pengurus PITI Sulsel.

Seksi Publikasi dan Humas: SHAIFUDDIN BAHRUM

Selasa, 27 Desember 2011

SERASEHAN NASIONAL
KEBUDAYAAN TIONGHOA INDONESIA
Makassar 21-22 JANUARI 2011

Latar Belakang

  • Dewasa ini pemerintah Republik Indonesia sedang giat-giatnya menyusun suatu draf strategi Pembentukan karakter bangsa yang berbasis pada keberagaman budaya bangsa yang masing-masing memiliki nilai-nilai yang dapat dikembangkan menjadi bahan pembentuk karakter bangsa. Namun sayangnya dalam strategi tersebut kebudayaan etnik Tionghoa yang sudah berbaur dengan kebudayaan Indonesia (peranakan) belum mendapat kajian yang jelas.
  • Di sisi lain pembangunan kebudayaan Indonesia yang merupakan susunan yang terbangun dari nilai-nilai luhur kebudayaan suku bangsa di Indonesia. Masalahnya apakah kebudayaan Tionghoa Indonesia juga diperhitungkan sebagai suatu unsur dalam pembangunan kebudayaan nasional?
  • Tahun 2013 akan diselenggarakan Kongres Kebudayaan Nasional. Maka kebudayaan Tionghoa-Indonesia perlu pula mendapat ruang dalam kongres tersebut.

Tujuan:

  • Memberikan konstribusi nilai-nilai luhur kebudayaan Tionghoa-Indonesia dalam pembentukan Karakter Bangsa.
  • Memberikan kontribusi dalam pembangunan kebudayaan nasional
  • Melahirkan bahan-bahan permasalahan kebudayaan Tionghoa-Indonesia yang akan diusulkan kepada Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Nasional 2013.

Sifat Kegiatan

Serasehan Budaya Tingkat Nasional

Waktu dan Tempat

- Waktu Pelaksanaan : 21 -22 Januari 2012

- Tempat Pelaksanaan : di Trans Studio, Makassar

Tema:

“MENGGALI NILAI BUDAYA TIONGHOA-INDONESIA DAN SUMBANGSINYA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA DAN PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN INDONESIA”

Pelaksana:

PANITIA IMLEK MAKASSAR DAN

LEMBAGA KERJASAMA EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA INDONESIA-CHINA MAKASSAR

Pembicara:

- Para Peneliti Kebudayaan Tionghoa di Indonesia

Peserta:

Dapat mendaftarkan diri ke Panitia SERASEHAN NASIONAL KEBUDAYAAN TIONGHOA-INDONESIA

Melalui Nomor Telpn: 081334741321

Email : baruga2004@yahoo.com

Bagi Peserta dari luar Kota Makassar yang membutuhkan penginapan (Hotel) panitia dapat membantu mencarikannya.

Batas Pendaftaran Peserta tanggal 18 Januari 2012.




Jumat, 09 Desember 2011

BECAK

Hampir semua kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, masih dapat ditemukan kendaraan tradisional yang digerakkan oleh tenaga manusia yang bernama becak. Namun Kendaraan ini kian hari kian terpinggirkan dan kini beroperasi dipinggiran-pinggiran kota. Bahkan kota Jakarta sudah menghapus becak sebagai alat transportasi. Kondisi ini menimpa becak lantara di kota-kota besar sudah kian dipadati dengan kendaran modern yang menggunakan mesin yang memacu alat tranformasi itu menjadi semakin laju, seperti motor, mobil, dan kereta api.

Becak yang digerakkan dengan tenaga manusia menjadi sangat lambat, meskipun pada era awal abad ke 20 becak telah menjadi alat transportasi yang cukup populer dalam masyarakat karena masih bersaing dengan kuda, ataupun dokar (bendi). Bahkan pada masa pemerintahan Kolonial kendaraan ini merupakan alat angkut masyarakat umum, sementara masyarakat kelas atas menggunakan motor dan mobil-mobil Eropa yang masih sangat terbatas jumlahnya. Sementara kalangan bangsawan local menggunakan kendaraan dokar atau bendi untuk pergi kemana-mana.

Kata “becak” yang berasal dari bahasa Hokkian (China) yakni ‘be chia’ yang berarti kereta kuda adalah kendaraan yang berbentuk segi empat dengan disanggah oleh tiga buah roda (ban). Dalam pesebarannya di Indonesia becak memiliki bentuk yang sangat bervariasi di banyak kota. Meskipun demikian becak dibuat untuk mengangkut dua orang penumpang dan seorang pengemudi.

Becak yang juga dapat ditemukan di luar Indonesia pada prinsipnya sama saja yang ada di Indonesia meskipun bentuknya yang berbeda. Selain di Indonesia beberapa Negara Asia juga memiliki becak seperti China, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand, Myanmar, Banglades, India dan lain-lain sebagainya.

Untuk mengabadikan becak sebagai alat trasnportasi tradisional yang bernah ada di beberapa kota di Indonesia ataupun di beberapa berapa negara di Asia maka kami merasa perlu untuk membuat sebuah Museum Becak yang akan mengumpulkan dan memaparkan sejarah perlkembembangan becak di beberapa kota di Indonesia.

BECAK INDONESIA

Di Indonesia becak dapat ditemukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogjakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Ambon, dan lain-lain sebagainya. Masing-masing kota memiliki bentuk yang bervariasi. Sehingga bentuk becak tersebut merupakan suatu kreatifas anak bangsa Indonesia dan menjadikannya salah satu kakayaan budaya bangsa masa lalu.

Badan becak pada umumnya dibuat dari bahan besi sebagai rangkanya dan bagian-bagian tertentu menggunakan papan dan balok yang sudah diketam rapi. Becak pada umumnya diproduksi dibengkel-bengkel tukang besi yang berada di kota tempat becak beroperasi. Biasanya bengkel tersebut akan menjadi pabrib becak.

Bentuk becak di Jawa berbeda dengan bentuk becak yang ada di Makassar dan Medan. Becak yang ada di Jawa menempatkan ruang penumpangnya di depan dengan disanggah oleh dua buah roda. Sementara pengemudinya berada di belakang dengan satu ban yang dilengkapi dengan pedal alat gayung yang dihubungkan dengan rantai dan gir yang menggerakkan rodanya. Roda belakang inilah yang kemudian mendorong ruang penumpang ke depan. Selain itu juga di dekat dudukan pengemudi juga terdapat tungkai rem yang berhubungan dengan pelep ban yang dapat menghentikan perputaran roda tersebut dan menghentikan becak dari laju pergerakannya.

Ruang penumpang becak Jawa dibuat khusus untuk dua orang dan masih terasa longgar untuk ukuran tubuh orang Jawa yang berukuran sedang (tidak gemuk). Ruang ini terbuka ke depan tanpa adanya penghalang. Untuk kenyamanan penumpang ruang ini dilengkapi dengan tempat duduk (jok) dan sandarannya yang dibuat lembut dari sabuk kelapa dan karet busa lalu ditutupi karpet plastic. Di bagian atas dibuat tenda dengan rangka besi lalu diberi penutup pelastik. Pada saat-saat tertentu jika matahari tidak terik atau tidak hujan tenda penutup ini dapat dilipat ke belakang. Jika hujan tenda penutup atas itu dibentang dan bagian samping, depan dan belakang diberi penutup pelastik. Sementara untuk pengemudinya akan menyenakan jas hujan (mantel) pelastik atau menggunakan topi lebar (caping) seperti yang digunakan petani diladang atau di sawah.

Antara ruang penumpang dan tempat pengemudi menggayung dan mengemudikan arak laju becak terdapat rangka besi yang besar yang dihubungkan dengan sebuah ensel putar yeng terletak di bawah dudukan penumpang. Ensel putar ini membuat badan becak dapat pergerak membelok ke kanan dan ke kiri. Kemudi becak berada dibagian belakang ruang penumpang tepat di bagian belakang sandaran. Sehingga pengemudi akan berpegangan di belakang sandaran ruang penumpang atau sesekali di bagian atas tenda jika sedang terpasang.

Becak Makassar memiliki bentuk dan ukuran yang agak berbeda sekalipun prinsip dasar dan struktur mekaniknya sama. Becak Makassar memiliki ukuran yang lebih kecil dari pada becak Jawa. Perbedaan lainnya adalah bentuknya yang lebih mengerupai kotak dengan sudut-sudut persegi yang tajam. Berbeda dengan becak Jawa yang sudut sudutnya lebih terbuka dan cendrung membulat. Pada bagian depan becak Makassar memilih papan pemisah dengan bagian luar becak meskipun agak rendah sementara becak Jawa lebih terbuka di bagian depannya.

Becak Medan (Sumatera) lebih ektrim perbedaannya dibanding dengan becak Jawa dan Makassar (Sulawesi). Becak Medan menggunakan sepeda gayung sebagai penggeraknya. Sepeda yang utuh tersebut ditempelkan dengan las atau baut secara semi permanen dengan ruang penumpang yang terletak di samping kirinya. Sepeda yang ditempelkan adalah sepeda besar (ontel) yang sewaktu-waktu dapat dilepaskan untuk digunakan keperluan lain.

Pengemudi becak Medan berada di samping kanan dan sedikit lebih di depan dari ruang penumpang dan arah laju becak dikendalikan pada kemudi sepeda. Remnyapun menggunakan rem yang ada pada kemudi sepeda sepeda.

Ruang penumpang ini memiliki sebuah ban disebelah kiri dan di kanan mengandalkan ban belakang milik sepeda. Untuk kenyamanan penumpang tempat duduknya dibuat dari bahan empuk dan lembut.

Minggu, 27 Maret 2011

Drs. H, Muh Salim: Ahli Galigo itu Sudah Tiada, Siapa Penerusnya?


Pak Salim (Begitu kami selalu menyapanya) tanggal 27 Maret 2011, sehabis shalat magrib telah pergi mendahului kita, kembali ke hadirat sang pencipta. Kepergian Drs. H. Muh, Salim untuk selama-lamanya itu.... maka kita kehilangan satu manusia langka di muka bunmi ini. Bukan hanya keluarganya yang kehilangan kepala rumah tangganya, bukan hanya kawannya yang kehilangan sahabat, bukan hanya masyarakat Sulawesi Selatan yang kehilangan seorang budayawan yang ulet, bukan hanya Indonesia yang kehilangan seorang pembaca manuskrip yang handal, akan tetapi dunia kehilangan seorang guru besar yang telah mengabarkan dan mengajarkan dunia tentang budaya Bugis yang agung melalui maha karyanya terjemahan La Galigo yang bisa kita baca sekarang....
Betapa tidak, dari tangan Pak Salim telah terlahir sejumlah doktor dalam bidang kebudayaan Bugis diberbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya sempat bertemu dan berguru langsung padanya. Sebagian diantara mereka justru padai berbahasa Bugis lantaran belajar
Kita semua kehilangan seorang yang sungguh-sungguh langka di dunia. Di Sulawesi Selatan telah banyak sarjana bahkan doktor, akan tetapi tidak setara dengan Pak Salim dalam hal pembacaan manuskrib (naskah) terutama La Galigo.
Inna lillahi wainna ilaihi rajiun....

Siapa Bapak Muhammad Salim?
Berikut kami kutib tulisan dibawah ini...

Muhammad Salim, Rujukan Aksara “Lontarak”

Diposkan oleh IBOEKOE pada 16 Mar 2011 | 1 Tanggapan

Oleh: Maria Serenade Sinurat

Muhammad Salim, Rujukan Aksara Lontarak, BUGIS, BUKUMuhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni ”lontarak”, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.

Kami bertemu di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, tempat Salim ”bekerja” yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.

Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyalin lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru dia mulai.

Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam Proyek Transliterasi dan Terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.

Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.

Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad ”tertidur”. Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.

Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. ”Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi.”

Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama-bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.

Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.00 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, ada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.

Honor transliterasi kala itu 5 dollar AS per lembar, sedangkan translasi 8 dollar AS per lembar. ”Uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang,” tuturnya.

Mendunia

Nama Salim ikut mendunia bersama ”terbangunnya” I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.

Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.

Kemampuan ini terasah saat ia masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya ditulis dalam huruf lontarak.

Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.

Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa Bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.

Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.

Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar ”berburu” lontarak.

Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. ”Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian,” ujarnya.

Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.

Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Galigo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.

Tanpa gelar

Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak.

Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu para profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.

Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal. bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.

Yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi ”rumah” bagi Salim yang setia dengan Vespa tuanya. Hanya bila hujan deras saja dia urung datang. ”Khawatir Vespa-nya mogok,” kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.

Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.

BIODATA

Muhammad Salim

• Lahir: Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936

• Istri: Hj Djamiah (65)

• Anak:
- Husnah Salim
- Nurdinah Salim
- Hamdan Salim

• Kegiatan:
- Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
- Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan

• Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain:
- Sureq Galigo
- Lontarak Sidenreng
- Lontarak Soppeng/Luwu
- Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan
- Pappaseng
- Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan)

Sumber: Kompas, 15 Maret 2011

Kamis, 10 Maret 2011

IKAN BANDENG TANPA TULANG




Jika Anda melakukan perjalanan di daerah Sulawesi Selatan dan memulai perjalanan dari Makassar menuju ke Utara, maka Anda akan melihat tambak (empang) yang berjejeran di pinggiran jalan mulai dari daerah/ Kabupaten Maros, Pangkep, sampai Ke Kab. Barru. Tidak hanya sampai di situ saja karena di kabupaten Pinrang sampai perbatasan Polewali Mandar (Prov. Sulawesi Barat) juga memiliki banyak tambak. Juga di daerah pantai barat di Kabupaten Sinjai, Bone, Wajo, dan Luwu. Tambak atau empang-empang tersebut pada umumnya ditamanami dengan ikan Bandeng (lokal: Bolu) dan Udang. Hasil tambak udang kemudian banyak di eksport ke luar negeri sementara bandeng kebanyakan menjadi konsumsi dalam negeri. Bahkan untuk memenuhi pasaran/konsumsi bandeng di Sulawesi Selatan didatangkan bandeng dari Kalimantan Timur. Apa Gizinya Bandeng?

Bandeng, dalam bahasa Latin disebut Chanos chanos atau milk fish (bahasa Inggris). Konon ikan ini merupakan satu-satunya spesies yang masih ada dalam familia Chanidae (kurang lebih tujuh spesies punah dalam lima genus tambahan dilaporkan pernah ada).

Kandungan Gizi
Komposisi gizi per 100 gram daging bandeng adalah energi 129 kkal, protein 20 g, lemak 4,8 g, kalsium 20 mg, fosfor 150 mg, besi 2 mg, vitamin A 150 SI, dan vitamin B1 0,05 mg. Protein bandeng cukup tinggi. Kondisi ini menjadikan bandeng sangat mudah dicerna dan baik dikonsumsi oleh semua usia untuk mencukupi kebutuhan protein tubuh, menjaga dan memelihara kesehatan serta mencegah penyakit akibat kekurangan zat gizi mikro.

Bandeng juga mengandung asam lemak omega-3. Asam lemak ini bermanfaat mencegah terjadinya penggumpalan keping-keping darah sehingga mengurangi risiko terkena arteriosklerosis dan mencegah jantung koroner. Asam lemak ini juga bersifat hipokolesterolemik yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Mampu meningkatkan daya tahan tubuh serta berperan dalam pertumbuhan otak pada janin serta pendewasaan sistem saraf.


Ikan-ikanan termasuk bandeng ini rendah kolesterol. Lemak jenuh merupakan salah satu pemicu tersumbatnya pembuluh darah penyebab penyakit jantung koroner. Dengan rajin mengkonsumsi ikan merupakan salah satu cara diet tepat sebagai penangkal penyakit jantung koroner. Seperti bangsa Eskimo yang makan ikan 300-400 g/hari ditemukan masyarakatnya rendah kasus penyakit jantung. (Bandeng Raos Echo).

Ikan Bandeng Tanpa Tulang?

Nah..... ini salah salah satu cara bagaimana makan ikan bandeng tanta resiko ketelan tulangnya.... soalnya ikan bandeng itu adalah jenis ikan bertulang keras dan banyak sehingga jika makan ikan bandeng kita harus berhati-hati. Apalagi jika ikan bandeng itu masih terbilang kecil.


Belakangan ini ditemukan satu metode untuk mencabut tulang-tulang ikan bandeng tersebut, satu persatu... sehingga kita tidak lagi perlu khawatir. Meskipun metode ini masin sangat manual dan menggunakan alat yang sederhana namun dengan dengan ketelitian yang tinggi para pencabut tulang ikan bandengan yang sudah mulai marak di daerah-daerah di Sulawesi Selatan mampu mencabuti 164 buah tulang bandeng, belum termasuk tulang belakangnya yang keras itu.

Jadi makan ikan bandeng cari yang sudah tidak ada tulangnya.... tidak merepotkan lagi....


Apa Enaknya Bandeng ?

Wah enak lah... Dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal dengan berbagai cara mengolah ikan menjadi makan yang lezat. kalau anda berkeling di Makassar, Anda pasti akan menemukan sejumlah penjual Ikan Bakar. Penjual ikan bakar di Makassar ada dua macamnya. pertama perjual Ikan Bakar dan Sop Saudara atau biasa juga dikenal dengan istilah Warung Pangkep. Adalagi jenis warung ikan bakar yang menyajikan aneka ikan laut...biasanya adajuga ikan bandengnya. Warung Pangkep biasanya lebih kental pada nuansa kuliner tradisionalnya sementara ikan bakar aneka ikan laut biasanya sudah terasa ada modifikasi. tetapi cita rasa masakan khas Makassarnya masih cukut kuat teras.



Selain ikan bandeng enak dibakar lalu disantap dengan berbagai jenis sambel dan sayuran, ikan ini juga enak dimasak. masakan ikan bandeng yang enak adalah Pallu Mara. Masakan ini cukup sederhana tetapi terasa segar, lantaran ikan hanya dimasak dengan kunyit bubuk, asam mangga, garam, penyedap rasa, dan goreng bawang.

Di Makassar ikan bandeng juga di masak dengan keluak (bahan ini juga sebagai bahan dasar rawon). Sehingga rasa asam keluak akan terasa nikmat dan segar. Masakan inipun akan berwarna hitam seperti rawon, hanya saja biasa lebih kental.


Selain ikan bandeng dapat diolah dan dinikmati dalam keadaan segar ikan ini juga dapat diolah menjadi ikan setengah asin atau abon ikan bandeng. Dewasa ini di Makassar sudah dapat ditemukan berbagai jenis ikan asin dan abon ikan, tetapi ikan asin dan abon ikan Bandeng memiliki cita rasa yang khas pula.


Sabtu, 29 Januari 2011

Escolar; Ikan Setan yang Berhasiat Tinggi

Oleh/ Editor: Shaifuddin bahrum

Ikan Escolar


Beberapa hari yang lalu (pekan kedua Januari 2011) saya diminta kawan saya seorang nelayan di Kepulauan Selayar untuk mencarikan pemasaran ikan hasil tangkapannya. Ikan itu disebutnya dengan nama Escolar. Bagi saya nama ikan itu masih terasa asing tapi tentunya tidak bagi para pelaut dan komunitas pemancing. Lalu saya berusaha mencari tahu ikan macam apa Iscolar itu. Nah inilah hasil penelusuran saya….



Wooouuuuu, sangat besar... ternyata

Ikan Escolar (Lepidocybium flavobrunneum), biasanya juga disebutkan oleh para nelayan dan komunitas pemancing sebagai ikan setan. Di sebut demukian karena yang bisa mencapai berat badan sampai 50 kg ini mempunyai sisik yang berwarna hitam dan mata yang menyala tajam.
Ikan Escobar dikenal sebagai ikan yang cukup langka karena hanya banyak ditemukan di perairan Sulawesi Selatan khususnya di perairan Kepulauan Selayar termasuk di Takabonerate. Selain ikan ini memiliki ciri yang disebutkan di atas juga dikenal cukup agresif. Menurut cerita nelayan di Selayar jika ikan ini terkena pancing maka ia akan mengamuk sangat dahsat, jika di darat ia dibaratkan kerbau yang mengamuk. Kalau tidak hati-hati ikan ini bisa menyeret perahu nelayan ke dasar laut.
Ikan Escolar oleh masyarakat nelayan dikenal juga sebagai ikan Opu atau ikan raja-raja. Menurut Marwiah (dari keluarga bangsawan) dahulu jika keluarga kami ingin melaksanakan acara atau hajatan, maka masyarakat di minta untuk menangkap ikan Escobar ini sebagai santapan para raja dan bangsawan tinggi. Maka ikan ini juga di sebut sebagai ikan para Raja (Opu). Ikan ini juga dikenal dengan nama ikan Gindara.
Menurut cerita para pemancing ikan ini kemungkinan hidup dan berkeliaran di laut pada kedalaman antara 150-200 meter. Bagi para pemancing menjadikan ikan Escolar sebagai supremasi tertinggi dalam prestainya.


Daging Ikan Escobar....

Selain daging ikan langka ini memiliki cita rasa yang khas dengan warna putih kekuning-kuningan, hasil penelitianpun menunjukkan bahwa ikan Escolar memiliki kandungan Omega3 yang paling tinggi disbanding ikan-ikan lainnya. Bahkan daging ikan ini juga memiliki kemampuan tinggi untuk melarutkan kolesterol dal tubuh.



Salah satu masakan dengan bahan dasar ikan Escolar

Selain itu ada juga penggemar ikan Bagus Y. Prayitno berkomentar dan menceriterakan pengalamannya di Wikimu.com, bahwa ikan Gindara ini juga memiliki khasiat yang sangat baik untuk meningkatkan dengan cepat trombosit pada darah bagi penderita demam berdarah dan juga berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit Typhus dengan cepat.
Melihat kandungan dan khasiat ikan ini maka ikan ini menjadi incaran banyak orang karena sangat baik untuk dikonsumbi oleh anak-anak dalam usia pertumbuhan terutama untuk pertumbuhan otak dan kecerdasannya. Bagi kalangan dewasa yang mengalami gejala kelebihan kolesterol dapat digunakan untuk mengurangi tumpukan jemak jenuh dalam tubuh.
Maka tidak jarang jika di Makassar ikan ini ditawarkan cukup mahal. Selain karena khasiat yang ada juga karena kelangkaan jenis ikan setan ini. Tidak setiap saat dapat ditemukan di pasaran.
Untuk mengolah ikan Iscolar atau Gindara ini menjadi makanan least sehat dan menyehatkan maka sebaiknya ikan ini di olah dengan menghindari cairan atau lemak ikan terbuang. Jadi sebaiknya ikan ini di masak pallumara, atau dimasak kuning. Mungkin alangkah baiknya jangan dibakar atau digoreng.
Beberapa orang yang sudah mencobanya memiliki dampak tersendiri yakni mengalami sakit perut, mulas kemudian buang-buang air yang cukup hebat. Menurut hasil penelitian itu adalah reaksi ketika minyak ikan ini membongkar lemak yang ada dalam perut kita, lalu membuangnya keluar melalui dubur. Jadi disarankan untuk mengkonsumsi ikan ini pada saat hari-hari libur agar aktifitas kita jangan terganggu. (29 Januari 011).
(APA KESAN ANDA? TINGGALKAN KOMENTAR ANDA DI RUANG BAWAH INI.........)