Rabu, 26 November 2008
Kota Makassar Lokalitas, Identitas dan Modernitas
Penduduk Sulawesi Selatan terutama daerah-daerah pesisir pantai oleh para ahli prasejarah berpendapat bahwa mereka berasal dari daerah Yunnan (Funan), seperti halnya orang-orang Manado, Sunda, Jawa, Bugis, Makassar, dan Mandar. (Juga orang Toraja yang masuk dari selat Makassar melalui sungai naik ke dataran dan masuk ke pelosok melalui sungai Sa’dang). Dari dataran tinggi Yunnan bangsa Deutro Melayu itu menuruni lereng-lereng gunung ke dataran rendah sambil mengembangkan budaya perunggu. Mereka biasa pula disebut orang Dong Son sebuah kota dekat Vietnam Utara. Diperkirakan mereka pindah menyerbu Nusantara sekitar tahun 1500 SM. Nusantara sebagai daerah baru mereka adalah daerah kepulauan sehingga mereka dituntut untuk cinta laut dan terampil di laut.
Orang-orang Funan tersebut kemudian bertebaran di kepulauan Nusantara, membangun kemunitas dan kehidupan mereka di pinggir pantai atau masuk ke pedalaman melalui sungai-sungai besar. Mereka beradaptasi dengan lingkungan untuk mempertahankan kehidupan dan lama-kelamaan pemu-kiman mereka bertambah besar dan tercipta kota-kota kecil terutama di daerah pelabuhan yang sering ramai disinggahi oleh para pelaut dan pedagang dari berbagai negeri.
Kota Makasssar merupakan salah satu kota tua yang ada di kepulauan Nusantara, karena selain kota ini telah meninggalkan sejarah panjang juga telah mengalami perkembangan sosial dan budaya silih berganti hingga hari ini. Pada zaman kejayaan raja-raja, Makassar dikenal sebagai sebuah kota pelabuhan (bandar) niaga yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Makassar, yang merupakan salah satu daerah taklukan kerajaan Majapahit pada masa kejayaan Gajah Mada (1364), sebagaimana dalam kitab “Nagarakartagama”.
Sulit untuk diduga kapan awal kata Makassar itu hadir di muka bumi ini, karena tak ada data yang akurat yang ditemukan oleh para ahli sejarah yang dapat dijadikan patokan untuk menentukannya. Akan tetapi sumber-sumber yang ditemukan hanya merupakan catatan perjalanan yang menemukan kampung dan masyarakat yang menyebut dirinya orang Makassar atau menamakan kampungnya Makassar.
Sumber data tertua yang menyebut nama Makassar yakni dalam Suma Orientale yang ditulis oleh Tome Pires dan disunting oleh Armando Costesao dari catatan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513, mengemukakan bahwa: karena letaknya di daerah pesisir ujung selatan pulau Sulawesi bagian Selatan, daerah ini menjadi salah satu pusat dagang yang termasyhur di Nusantara bahkan di dunia internasional. Berbagai bangsa datang ke wilayah ini untuk berlabuh sambil memperdagangkan barangnya sambil membeli hasil bumi. Orang Makassar telah melakukan perdagangan dengan Malaka, Jawa, Borneo, Siam dan semua negeri antara Pahang dan Siam.
Selain dikenal sebagai wilayah pelabuhan yang bertaraf internasional, Makassar juga dikenal pada masa itu (sekitar abad XVI) sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebiasaan dan kehidupan di laut. Orang Makassar adalah pedagang-pedagang cekatan dengan perahu-perahu yang besar dan indah, juga dikenal sebagai bajak laut yang menguasai perairan di dekat pulau Pegu (Philipina), di Maluku, Banda, dan semua pulau di sekitar Pulau Jawa.
Ketenaran Makassar juga dikenal sebagai sebuah suku bangsa (etnis), yang menggunakan bahasa sendiri (Bahasa Makassar). Mereka mendiami pesisir ujung selatan jazirah Sulawesi Selatan mulai dari pesisir Makassar (sekarang) atau muara sungai Tallo-Jeneberang sampai Bantaeng di selatan yang meliputi negeri-negeri, Galesong, Takalar, Topejawa, Laikang, Cikoang, dan Bangkala.
Sampai sekarang pun negeri-negeri itu disebut negeri-negeri orang Makassar (Parasanganna Mangkasarakka). Dalam kitab Negarakartagama Makassar juga meliputi Bantayan atau Bantaeng dan Selaya atau Selayar. Sekarang daerah orang Makassar adalah daerah Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bulukumba dan Selayar (di bagian Selatan Kota Makassar) dan juga daerah Maros, juga sebagian Pangkajene Kepulauan atau Pangkep (di bagian Utara Kota Makassar).
Selain menggunakan bahasa sendiri yakni bahasa Makassar, suku bangsa ini sudah pula mengenal aksara yang mereka sebut lontaraq. Aksara ini diperkirakan berasal dari aksara Sansekerta yang dikembangkan sehingga menemukan bentuknya sendiri.
Ketika Gowa berkembang menjadi sebuah kerajaan besar yang melindungi semua negeri orang Makassar, sebagai sebuah kerajaan maritim, komunitas ini mengembangkan pangkalan armada niaganya di Macini Sombala muara sungai Jeneberang sampai ke utara antara sungai Jeneberang dengan sungai Tallo. Di situlah terletak kota Makassar sekarang, yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan bebas Kerajaan Kembar Gowa-Tallo (Makassar).
Seiring dengan pertumbuhan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) menjadi kerajaan yang utama di Sulawesi Selatan, tumbuh pulalah pelabuhan utamanya menjadi pusat pedagang-pedagang di seputar Nusantara, orang Eropa dan Cina.
Sebagai negeri yang terletak di bagian pesisir dengan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan internasional sejak abad ke-16 atau mungkin lebih jauh lagi mendahului, Makassar mengakomudir berbagai suku bangsa dan menerima kedatangan pedagang-pedagang dari berbagai negeri dan bangsa, tidak terkecuali bangsa Cina yang sangat agresif dalam dunia perdagangan.
* * *
Awal abad ke- 20 adalah masa pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun 1905 kerajaan-kerajaan di daerah ini yang dulu mashur dan berjaya takluk di bawah kekuasaan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Pada tanggal 1 Agustus 1906 status Makassar sebagai pelabuhan bebas dihapuskan dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda.
Makassar pada era tersebut kemudian dibagi dalam enam distrik, yaitu Distrik Makassar, Wajo, Ende, Ujung Tanah, Melayu, dan Mariso. Distrik Makassar, Wajo, Melayu, dan Ende, masing-masing diperintah oleh seorang kepala dengan gelar ‘kapitan’, sedangkan Distrik Ujung Tanah dan Mariso masing-masing diperintah oleh ‘gallarang’. Khusus untuk orang-orang Cina mempunyai pimpinan sendiri yang disebut Mayor Cina (Mayoor der Chineezen) yang dibantu oleh seorang kapiten, dua letnan, dan beberapa kepala kampung (wijmeesters) (Gelar leitenant baru dipakai untuk kapala umat asing pada permulaan abad ke 19, sebelumnya hanya dilantik mayoor. kapitan, dan wijkmeesters). Leitenan pertama di angkat pada tahun 1852. Sedangkan orang-orang Timur Asing bukan Cina diperintah oleh seorang pejabat dengan gelar kapitein.
Sebagai pusat perdagangan yang mayoritas dihuni orang Cina terletak di Passarstraaat (Jalan Pasar sekarang Jalan Nusantara). Dulu pada jalan ini sebelum diadakan pembangunan dan perluasan kawasan pelabuhan Makassar, di kiri dan kanannya terdapat sejumlah bangunan. Di salah satu sisi jalan itu terdapat gedung-gedung dan kantor-kantor pedagang-pedagang Eropa, sedangkan sisi lainnya terdapat toko-toko Cina dan orang Timur Asing lainnya. Tidak jauh dari pelabuhan pada arah selatan terdapat Fort Rotterdam yang terletak di sebelah selatan dari lapangan yang bernama Prins Hendrik Plein (yang kini adalah bangunan RRI Nusantara IV dan Jalan Karaeng Riburane).
Passarstraat sebagai pusat perdagangan maka daerah ini juga menjadi pusat aktivitas orang-orang Cina di Makassar yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Mereka pun membawa barang dagangannya ke daerah pedalaman meskipun kemudian mereka mendapat batasan dari pihak pemerintah.
Pada tahun 1921 Distrik Melayu dan Ende dihapuskan. Distrik Melayu digabungkan ke dalam Distrik Wajo, sedangkan Distrik Ende dibagi ke dalam wilayah Distrik Makassar dan Distrik Wajo. Maka dengan demikian di Kota Makassar dari tahun 1921-1959 hanya terdapat 4 distrik yaitu: Distrik Makassar, Wajo, Ujung Tanah, dan Mariso. Pada masa berikutnya Kota Makassar mengalami beberapa kali perubahan status.
Kota Makassar yang dulunya hanyalah sebuah wilayah pelabuhan yang didiami oleh sekelompok orang (suku) Makassar terus mengalami perkembangan dan perluasan wilayah. Kota Makassar menjadi pusat kegiatan perdagangan (ekonomi), politik, sosial, dan budaya di bagian Timur Nusantara (Indonesia). Berbagai suku bangsa berdatangan ke negeri ini dan menetap serta melakukan aktivitas kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkampungan-perkampungan suku-suku bangsa di Makassar dalam wilayah-wilayah tertentu. Misalnya Kampung Melayu merupakan perkampungan orang Melayu, Kampung Ende adalah perkampungan orang Ende, Kampung Butung dihuni oleh orang-orang Buton, Kampung Wajo dan Mampu merupakan perkampungan orang-orang Bugis, Kampung Balandaya adalah perkampungan orang Belanda (Eropa), Kampung Cina adalah perkampungan orang-orang Cina. Selain kampung-kampung di atas selebihnya adalah perkampungan orang-orang Makassar (pribumi) yang merupakan penduduk mayoritas.
Selain perkampungan orang Eropa, perkampungan-perkampungan lainnya tidak bertahan lama, karena proses asimilasi antara suku bangsa di Makassar terjalin dengan baik. Saling pengaruh budaya berlangsung dengan sangat bersahabat sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa tiap-tiap suku bangsa melebur menjadi satu kesatuan budaya, karena masing-masing suku bangsa dengan latar budaya yang berbeda mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya mereka masing-masing.
Penduduk Makassar pada masa pendudukan Belanda di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yakni; Kelompok bangsa Eropa, Timur Asing dan Inlander (pribumi). Orang Cina masuk dalam kelompok Bangsa Timur Asing.
Jumlah pertumbuhan warga Cina di Makassar sejak abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-20 berkisar 20% dari jumlah penduduk pribumi, lebih banyak dari suku bangsa asing lainnya, termasuk bangsa Eropa.
Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai pada tahun 1750 jumlah orang Cina di Makassar tidak lebih 500 orang tetapi jumlah itu pelan-pelan bertambah pada pertengahan tahun 1800-an. Tahun 1895 populasi mereka kira-kira 2534 jiwa. Tetapi pada tahun 1915 melonjak menjadi 6483 jiwa. Kemudian pertumbuhan mereka melonjak dua kali lipat 15 tahun kemudian yakni pada tahun 1930, berjumlah 15.400 jiwa.
Pada masa pendudukan Jepang yang dilanjutkan selama revolusi sudah dipastikan mengalami fluktuasi yang sangat besar. Setelah perang kemungkinan terdapat 30-35 ribu orang Cina di Makassar. Ini kira-kira 20% dari total populasi dari masyarakat yang bukan Cina, jauh lebih besar daripada tahun 1915.
Tahun 1981 jumlah orang Cina yang bukan WNI sebanyak 24.676, menurun menjadi 16.839 pada tahun 1992. Penurunan itu disebabkan banyak orang Cina yang menjadi warga negara.
Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan orang Cina di Makassar tidak lagi ditandai dengan sebuah nama yang khusus, tetapi perkampungan mereka masuk dalam wilayah Kampung/ Kelurahan Melayu di Kecamatan Wajo. Meliputi antara lain Jalan Nusantara, Jalan Sulawesi, Jalan Somba Opu, Jl. Irian, Jl. Diponegoro, Jl. Seram (Tentara Pelajar), Jalan Sangir, dan sekitarnya. Pada peringatan tahun baru Imlek/ Capgomeh (pada hari ke 15 Imlek) Pebruari 2003, Cina Tawn kembali diresmikan dan ditandai dengan sebuah pintu gerbang besar di ujung selatan jalan Lembeh. Peresmian kawasan Cina Taown tersebut dilakukan oleh Wali Kota Makassar Drs. Amiruddin Maula, M.Si.
Orang Cina yang datang dan menetap di Makassar membangun lembaga sosial dan budayanya sendiri sambil beradaptasi, berasimilasi, berakulturasi dan berintegrasi dengan masyarakat dan budaya Makassar.
* * *
Secara geografis Kota Makassar dewasa ini terletak pada posisi 119 24 17’ 38” Bujur Timur dan 5 8 6’ 19” Lintang Selatan, dan berada pada 0 – 25 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah ibu kota Propinsi Sulasewi Selatan ini sekitar 175, 77 km persegi.
Oleh karena posisi geografis yang demikian dan letaknya di pinggiran pantai maka kota ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata 22 – 32 C, dan hanya mengenal dua musim seperti wilayah lain di Indonesia yakni musim kemarau dan musim hujan.
Kota Makassar berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene Kepulauan di sebelah Utara, kabupaten Maros di sebelah Timur, Kabupaten Gowa di sebalah Selatan dan Selat Makassar di sebelah Barat.
Di Kota ini bermukim selain suku Makassar juga terdapat dalam jumlah yang cukup besar orang-orang Bugis, Mandar dan Toraja. Selain itu, juga ada orang Jawa yang tidak sedikit, orang Ambon, Minangkabau, Banjar, Batak, dan suku bangsa lainnya. Bahkan ada pula masyarakat dari keturunan Arab, Pakistan, India, Melayu, Cina, Eropa, dan bangsa asing lainnya. Diantara bangsa pendatang masyarakat keturunan Cinalah yang jumlahnya cukup besar.
Penduduk Makassar yang berjumlah 1.112.688 pada tahun 2000 tersebar di empat belas kecamatan dengan mata pencaharian yang beraneka ragam, antara lain sebagai karyawan pada kantor pemerintah atau swasta, tentara, polisi, usaha jasa, pedagang, dan selebihnya hidup sebagai nelayan dan petani serta peternak. Khusus nelayan, petani dan peternak bermukin di daerah pinggiran kota, misalnya di Kecamatan Biringkanaya, Tamalate, dan Manggala.
Orang Makassar adalah pemeluk agama Islam yang taat melakukan syariat. Sekitar 88,6 % penduduk kota metropolitan ini memeluk agama Islam sedangkan yang lainnya memeluk agama Kristen baik Katolik maupun Protestan (sekitar 9,3%), sisanya meragama Hindu (0,6%), Budha (1,5%) dan dalam jumlah kecil masih memeluk agama Konghucu. Orang Cina di Makassar rata-rata adala pemuluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), dan Konghucu atau Budha. Hanya sebagian kecil yang memeluk agama Islam.
Sebagai kota dengan masyarakat beragama maka kota ini dihiasi pula dengan rumah-rumah ibadah dengan arsitektur yang indah. Baik arsitektur yang berakar dari tradisi Makassar, maupun arsitektur yang berasal dari luar (Eropa, Arab, India, Cina dan lain-lain sebagainya). Selain mesjid dan gereja yang cukup banyak juga dapat ditemukan bangunan-bangunan ibadah orang Tionghoa berupa klenteng, atau vihara. Terutama yang berada di daerah China Town (Kampong Cina).
Karakter Orang Makassar
Pada 2002 yang lalu, seorang kawan saya dari LIPI Jakarta; Sutamat mengikuti suatu seminar Internasional di Kota Makassar. Ia memilih tinggal di sebuah rumah kawan kami di daerah kecamatan Tallo dekat pelabuhan Potere dan meninggalkan jatahnya di hotel yang disiapkan panitia. Kunjungannya ke Makassar adalah yang pertama kalinya selama ini dia selalu mendapat tugas di bagian Barat Indonesia.
Di Potere dia berinteraksi dengan masyarakat dan nelayan, bergaul dan bercengkrama. Di pagi hari sebelum berangkat ke tempat seminar di sebuah hotel berbintang di daerah ini dia bisa menikmati sarapan pagi bersama nelayan yang baru saja pulang melaut.
Beberapa minggu kemudian setelah seminar itu, kami bertemu lagi dengan Pak Tamat (panggilan akrab saya padanya) di Jakarta. Kawan saya itu kemudian menceriterakan secara polos kesannya terhadap masyarakat Makassar yang sempat ia kenali selama empat hari. “Sungguh saya merasa terkecoh dengan pemberitaan selama ini, Mas”, kata kawan saya memulai ceritanya.
“Terkeco bagaimana, Mas”, Tanyaku membalas, karena tak mengerti arah ceritanya.
“Selama ini yang saya baca di buku-buku, media massa, dan pemberitaan tentang Makassar, menggambarkan bahwa Makassar itu adalah sebuah kota dengan masyarakatnya yang berkarakter kasar, anarkis. Setiap saat bisa terjadi kekerasan, perampokan, perkelahian, dan bahkan pembunuhan. Di daerah ini pada zaman dahulu banyak berasal para bajak laut, perampok, dan lain-lain sebagainya. Singkat kesan saya dari hasil pembacaan literature, Makassar itu seperti Kota Texas di film-film koboi Amerika. Tapi kenyataan yang saya temui ternyata lain, Mas”, katanya mengambil jedah. “Lain bagaimana?...” umpanku untuk menangkap kesannya lebih jauh.
“Saya benar-benar terkecoh, Mas. Masyarakat yang saya gauli selama empat hari saya di Makassar ternyata terbalik 180 derajat dari apa yang saya baca selama ini. Mereka semua ramah-ramah, halus, sopan-sopan, peduli terhadap orang lain, dan menghargai tamu seperti raja…” tuturnya dengan penuh kesungguhan seorang Jawa.
“Bayangkan saja, Mas”, lanjutnya. “Tetangga mas Budi; Daeng Rani yang baru saya kenal pada saat itu setiap pagi membawakan saya ikan, dan kami bakar di depan rumah lalu kami makan bersama. Istrinya setiap pagi membuatkan kami sambel yang luar biasa nikmatnya. Kami tiba-tiba seperti jadi keluarga (saudara) yang sudah lama kenalan. Hal ini jarang saya temukan di daerah lain, Mas. Saya ini peneliti yang sudah mendatangi hampir separuh provinsi di Indonesia ini”, sambungnya. Dia juga masih memberikan pujian-pujian yang panjang dalam pertemuan kami itu.
Dia benar-benar terkesan dengan masyarakat Makassar yang ditemuinya. Bukan hanya kawan-kawan barunya yang ia cerita tetapi juga kesannya selama mengikuti seminar dan kesempatan jalan-jalan di kota ini.
* * *
Apa yang diceritakan Pak Tamat, tentu bukanlah hal yang mengada-ada, demikian pula dengan pemberitaan dan berbagai informasi yang menyebar di luar sana tidak juga sepenuhnya salah. Hanya saja yang mesti dicermati adalah kurun waktu (zaman) informasi itu datang dan dalam situasi apa? Karena setiap kurun waktu memiliki jiwa zamannya tersendiri. Demikian halnya setiap situasi membentuk karakter manusianya berbeda pada situasi yang lain.
Pada zaman peperangan pada abad ke 17 masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar merupakan masa pergolakan kerajaan-kerajaan di daerah ini. Kerajaan-kerajan melakukan perang saudara sehingga banyak jatuh korban di antara mereka sendiri. Dan pada abad ke 18-19 adalah masa pendudukan penjajah Belanda dan masyarakat Sulsel melakukan perlawanan sengit. Bukan hanya di daeratan tetapi juga di lautan sehingga terjadi pula perampokan dan pembajakan di laut terhadap kapal-kapal dagang Belanda dan sekutunya.
Pada awal kemerdekaan pergolakan sosial masih terus terjadi di daerah Sulawesi Selatan. Di mana-mana terjadi kekerasan, penculikan, terror, pembunuhan massal, dan kekerasan lainnya.
Sepanjang perjalanan waktu itu yang melakukan kekerasan, peperangan, perampokan, pembajakan di laut, pembunuhan dan lain-lain adalah orang-orang tertentu, hanya dari kangan militer atau pesukan tentara kerajaan. Situsi perang ini mengharuskan mereka melakukan kekerasan-kekerasan itu, karena jika mereka tidak membunuh maka merekalah yang akan terbunuh. Situasi-situasi inilah yang membentuk karakter keras mereka.
Tetapi di sisi yang lain masyarakat Bugis-Makassar ada juga yang memelihara kehalusan budinya, menjaga tatakrama yang halus, dan menegakkan adat istiadat mereka. Pada sisi ini mereka menolak kekerasan dan justru mengagungkan keramah-tamahan, memuliakan akhlak yang baik, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Justru dari sisi ini sangat menghinakan orang yang melakukan kekasaran dan kekerasan serta melanggar tatakrama. Orang Bugis Makassar akan memberi hukuman berat bagi pelanggar adat-istiadat dan berlaku anarkis dalam masyarakat.
Sehingga banyak orang Makassar yang bersifat arif bijaksana, berjiwa solidaritas tinggi terhadap sesamanya, dan menjunjung tinggi harkat dan bartabat manusia. Citra manusia Makassar yang seperti ini sangat bertentangan dengan citra yang pertama. Karena ada situasi dan zaman yang membedakannya.
* * *
Kedua karakter ini tetap tumbuh dalam masyarakat Makassar hingga saat ini. Hanya saja dewasa ini masyarakat Makassar sudah semakin cerdas sejalan dengan kemajuan zaman. Di kota ini terdapat sejumlah perguruan tinggi yang memberikan pengayaan intelektual kepada masyarakat, sehingga karakter keras itu tidak lagi menjadi liar seperti tentara kerajaan terapi sudah dikemas dengan kecerdasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Makassar adalah masyarakat keras, tetapi harus dipahami tidak seperti pada abad-abad yang silam. Kerena dewasa ini mereka keras melakukan perlawanan terhadap pembodohan, kesewenang-wenangan, dan kepada pemiskinan. Tetapi sekali lagi perlawanan itu adalah perlawanan intelektual dan kultural.
Secara permukaan masih seringnya terjadi letupan-letupan kekerasan atau kekasaran, tetapi itu bukan sesuatu yang harus dirisaukan benar, karena waktu akan terus mencerahkan keintelektualan mereka dan memperkaya kulturalnya.
Hanya saja yang mesti selalu diciptakan adalah suasana kondusif agar selalu ada ruang-ruang untuk berdialog, berdiskusi, dan melakukan exersice-exsercise yang bisa menambah wawasan dan kecerdasan masyarakat kota ini.
Semakin cerdas masyarakat kota ini maka kekerasan dalam arti yang lama akan terkikis secara perlahan-lahan dan perlawan akan dilakukan secara intelektual dengan daya juang yang lebih kuat dan gigih . Juga akan muncul lebih jelas karakter masyarakat Makassar yang berbudi pekerti, berakhlak mulia, beradat istiadat, bersolidaritas tinggi, serta menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Selasa, 25 November 2008
Tenunan Tradisional TENUNAN MANDAR Sulawesi Barat
Shaifuddin Bahrum
Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara penghasil seni tenunan terbesar di dunia khususnya dalam hal keanekaragaman hiasan (Fisher, 1979:9). Kreasi para penenun generasi terdahulu banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya asing akibat pengaruh hubungan perdagangan dengan negara-negara tetangga yang telah berlangsung beratus-ratus tahun yang silam. Kondisi tersebut memberikan sumbangan cukup besar bagi kekayaan keanekaragaman jenis tenunan bangsa Indonesia.
Di dalam kain tetunan tersebut yang memiliki ragm hias yang sangat bervariatif di setiap daerah mengandung nilai-nilai yang bermakna luhur sebagai wujud dari budaya masyarakat Indonesia pada asa lampau. Pembuatannya yang rumit baik teknik tenunan, pewarnaan maupun ragam hias yang menggunakan peralatan dan bahan khusus telah memberikan nilai tambahan pada karya seni tenun tersebut. Hal ini menyebabkan besarnya perhatian para ahli tekstil manca negara terhadap potensi dan keunggulan tenun atau tekstil tradisi Indonesia. Di buktikan dengan adanya punlikasi dalam bentuk buku-buku hasil penelitian yang mereka lakukan.
Dari sekian ragam tenunan tradisional dalam masyarakat Nusantara juga dikenal tenunan tradisonal yang menggunakan benang sutra. Benang sutra sebagai bahan baku tetunan ini dipintal dari kepompong ulat kupu-kupu dari spesies tertentu dengan makanan tertentu pula yahni; murbei.
Masyarakat Bugis Makassar dan Mandar, menggunakan peralatan tradisional mereka secara turun temurun untuk memproduksi kain sutra mereka. Peralan tersebut mereka buat sendiri dalam komunitas. Baik peralatan pemeliharaan ulat sutra, memintal benang, pewarnaan benang, sampai pada peralan tenunan. Bahan-bahannya mereka ambil dari alam yang ada disekitar mereka, seperti kayu dari berbagai jenis pohon, bambu, buah-buahan dan daun-daunan yang digunakan sebagai bahan pewarna.
Dalam waktu yang cukup lama masyarakat Nusantara khususnya yang ada di daerah Bugis, Makassar dan Mandar tetap mempertahankan alat tenun tradisionl mereka. Selajan dengan itu tenunan tradisional khususnya kain sutra terus diproduksi oleh masyarakat. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencarian masyarakat khususnya kaum perempuan di daerah-daerah Bugis, Makassar, dan Mandar.
Kegiatan menenun ini mereka pertahankan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya dalam keluarga mereka. Sehingga tradisi menenun kain sutra masih bisa berlangsung hingga saat ini.
Masyarakat Mandar yang mendiami pantai timur jazirah selatan Pulau Sulawesi di Propinsi Sulawesi Barat masih melestarikan tradisi menenun sutra. Tenunan sarung sutra Mandar sangat terkenal hingga akhir abad ke dua puluh. Kualitasnya dikenal sangat tinggi karena tenunannya yang halus. Coraknya pun dapat dibedakan secara jelas dari tenunan sutra Bugis dan Makassar. Corak (Bahasa Mandar: sureq) berbentuk kotak-kotak yang simetris yang dikembangkan dalam berbagai ukuran ketebalan garis dan besarnya kotak.
Namun demikian tradisi menenun ini bukannya tidak memiliki ancaman sama sekali. Karena industri tekstil dewasa ini sudah berkembang dengan pesatnya. Ditambah lagi dengan gejala globalisasi yang melanda dunia yang berlangsung sejalan dengan perkembangan teknologi modern, komunikasi, dan informasi.
Kemajuan pertekstilan modern dihantar oleh ditemukan dan dikembangkannya berbagai alat tenun yang lebih baik dan lebih modern, baik yang bukan mesin (ATBM) maupun yang menggunakan mesin. Alat-alat tenun modern itu memiliki banyak keunggulan, selain mengurangi penggunaan tenaga manusia, juga jumlah produksinya pun jauh lebih tinggi dibanding tenunan tradisional. Pada akhirnya tenunan tradisional menjadi tertinggal.
Generasi muda, khususnya remaja-remaja putri di Mandar sudah kurang yang berminat untuk mempelajari tenunan sutra tradisional. Mereka sudah lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan lain yang dianggapnya lebih produktif, misalnya menjadi pegawai, karyawan atau buruh pabrik atau pekerjaan lain yang lebih menawarkan upah yang lebih tinggi.
Demikian pula dari segi konsumen kain sutra, mereka kebanyakan mencari kain yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik yang banyak diproduksi oleh alat tenun modern ATBM misalnya.
Keterpurukan tenunan sutra tradisional khususnya di daerah Mandar terjadi ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan tahun 1998 sampai tahun 2000. banyak penenun yang meninggalkan tradisinya lantaran tidak mampu membeli bahan baku, yakni benang yang masih banyak diimport dari India, Jepang, dan China. Sementara produksi benang dalam negeri masih terbilang rendah sehingga tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Saat itu banyak alat tenun tradisional (godokan) yang menganggur dan menjadi kayu-kayu lapuk di daerah-daerah Mandar yang pada akhirnya menjadi kayu bakat.
Sungguh sangat memprihatinkan kondisi tenunan sutra tradisional khususnya di Mandar. Namun demikian dalam waktu kurang lebih lima tahun kemudian tahun 2003 secara perlahan-lahan industri tenunan tradisional ini kemudian tumbuh kembali secara perlahan-lahan atas dorongan pemerintah daerah. Hal ini sejalan pula dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Daya beli masyarakatpun sudah semakin membaik dan pasokan benang sudah kembali lancar dipasaran Mandar (khususnya di Polewali-Mandar dan Majene).
Meskipun demikian persutraan di daerah tersebut belum juga pulih sepenuhnya, lantaran kaum wanita yang dahulu banyak menggeluti kekerjaan ini sudah banyak yang beralih profesi. Di Mandar khususnya di daerah Polewali kaum wanita sudah banyak yang bekerja sebagai pegawai kantoran, pedagang, dan buruh. Sebagai besar diantara mereka memilih menjadi buruh pemintal tali plastik (daur ulang dari tali kapal). Sebahagian lagi berdagang atau membuka kios di rumah atau di pasar. Pekerjaan-pekerjaan baru mereka tersebut lebih menjanjikan keuntungan yang lebih besar dari pada menenun kain sutra.
Sejalan dengan tumbuhnya kembali tenunan tradisional sarung sutra, masuk pula alat tenun buhan mesin (ATBM). Alat tenun ini dapat bekerja lebih produktif dibanding dengan alat tenun tradisional (gedokan). Di samping ATBM dapat menghasilkan kain lebih banyak dalam setiap harinya juga penggunaan tenaga manusia dapat dikurangi. Itu berarti bahwa akan banyak kaum perempuan yang dulunya berprofesi sebagai penenun tergantikan oleh alat tenun bukan mesin ini.
Kondisi tersebut di atas sungguh sangat memprihatinkan karena mungkin suatu waktu nanti tenunan tradisionl sutra di daerah Mandar dan dibeberapa daerah lainnya di Nusantara akan punah ditinggalkan masyarakatnya. Sehingga sebelum semua itu terjadi maka perlu dilakukan suatu upaya inventarisasi tenunan sutra tradisional Mandar. Mengingat tenunan merupakan sumber daya budaya sekaligus sumber daya ekonomi yang masih mungkin untuk dikembangkan menjadi suatu unggulan memasuki pertarungan di era globalisasi dewasa ini.
Wilayah Penelitian
Dalam masyarakat di Nusantara selain mengenal tenunan sutra Bugis-Makassar, juga cukup dikenal tenunan tradisional sutra Mandar. Namun demikian pengrajin tenunan tradisional ini tidak ditemukan di semua daerah Mandar di Provinsi Sulawesi Barat yang terbentang dari Polewali Mandar di selatan sampai ke Mamuju Utara di bagian utara. Konsentrasi pengrajin tenunan yang terbesar di daerah ini adalah berada pada Kecamatan Tinambung, Limboro, dan Balannipa. Sehingga dengan demikian maka penelitian ini dipusatkan di daerah ini dengan memilih beberapa desa-desa tertentu.
Sejarah Sutra
Pada awalnya dunia tidak tahu kalau kain sutra dibuat dari serat yang diambil dari sejenis binatang ulat, sampai kemudian pendeta-pendeta Eropa mencuri sejumlah bibit ulat sutra dan murbei dari China dan membawanya ke Eropa. Sudah berpuluh tahunatau bahkan berabad abad lamanya orang China sudah memiliki pengalaman memelihara ulat Sutra. Sutra masuk ke Indonesia diperkirakan jelah abad 14 jauh lebih awal, dibawa oleh para pelaut dan tentra China yang mengunjungi kerajaan di Nusantara.
Tenunan tradisional sutra masyarakat Mandar telah berlangsung cukup lama dan telah mengalami pasang surutnya sesuai dengan perkembangan zaman. Hingga saat ini tenunan tradisional tersebut masih dapat ditemukan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan waktu tenunan tradisional sutra mengalami perkembangan mengikuti zaman. Perkembangan itu terdorong oleh aspek internal dalam kebudayaan Mandar dan juga aspek eksternal. Dalam kehidupan sehari hari orang Mandar ingin maju dan seperti banyak masyarakat dan kebudayaan lainnya di Indonesia sehingga masyarakat mandar harus melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya. Demikian halnya dalam hal berbusana merekapun membutuhkan pakaian yang tidak lagi terpaku pada masa lalu dengan warna-warna suram dan gelap, sehingga warna-warna dan motif sarung sutra yang mereka tenun semakin lebih bervariatif.
Tenunan Sutra Mandar
Industri tenunan sutra di Mandar di barengi dengan pemeliharaan ulat sutra dan tanaman murbei. Meskipun demikian produksi benang sutra lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaan penenun di Mandar.
Masyarakat penenun di Mandar menggunakan benang-benang import yang datang dari India dan China. Jenis-jenis benang tersebut memiliki kualitas yang berbeda-beda. Benang India adalah benang sintetis yang disebut dengan crayon. Benang memiliki sedikit unsur sutra tetapi cenderung lebih kuat dan tidak mudah putus. Harganyapun lebih murah. Benang China kualitasnya lebih baik dan harganyapun jauh lebih mahal.
Harga Benang di Pasaran
No. Asal Benang Kualitas Harga
1 India rendah Rp. 80.000,-
sedang Rp. 120.000,-
baik Rp. 200.000,-
2 Lokal (Mandar, Soppeng, Twiss Rp. 220.000,-
Enrekang) Bisa Rp. 260.000,-
Meskipun masyarakat Mandar telah memasuki era modern dengan berbagai kemajuan teknologi yang semakin canggih namun dalam menenun kain sutra mereka tetap mempertahankan alat tenunan tradisional (gedokan atau dalam bahasa Mandar panette). Meskipun dalam perkembangannya alat nemun ini juga teleh diciptakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang bisa memproduksi lebih banyak dibanding alat gedokan/ panette namun masyarakat masih bertahan menggunakan alat tradisional mereka.
Dalam penelitian ini kami inventarisir kurang lebih 60 nama corak sarung yang ada di Mandar, baik corak tradisional, corak pengembangan, maupun corak-corak kontemporer dewasa ini.
Nama corak tersebut antara lain:
- Corak Salaka
- Corak Padzadza (parara)
- Corak Batu Darima
- Corak Taqbu
- Corak Aroppoq
- Corak Pandeng
- Corak Pangulu
- Corak Puang Lembang
- Corak Benggol
- Corak Jangang-jangang
- Corak Ragiwasa
- Corak Tunggeng
- Corak Loang
- Corak Beruq-beruq
- Corak Bataq Giling
- Corak Giling Kanaiq
- Corak Kaiyyang
- Corak Marica
- Corak Maraqdia
Sureq Perkembangan
- Corak 710
- Corak Karaeng
- Corak Parara alleq bunga
- Corak Saripa
- Corak Salaka Taqbu-taqbu
- Corak Wiranto
- Corak Kucing Garong
- Corak Sandeq
- Corak Sulbar
- Corak Kapala Daerah
- Corak Komandan Kodim
Sutra, Masyarakat, dan Budaya Mandar
Lestarinya tenunan tradisional sutra ini disebabkan oleh karena hasil tenunan masih dibutuhkan masyarakat, baik oleh masyarakat Mandar sendiri juga oleh masyarakat di luar Mandar. Sutera hasil tenunan tradisional Mandar terkenal dengan mutunya yang cukup baik. Selain tenunannya halus coraknyapun cukup bervariasi dengan sejumlah warna pilihan.
Dalam masyarakat Mandar juga masih cukup banyak masyarakat khususnya kaum perempuan yang berminat untuk belajar menenun utama dari kalangan generasi muda. Sehingga dalam masyarakat Mandar masih terjadi pewarisan keterampilan menenun dari generasi tua ke anak cucu mereka. Keadaan yang demikian membuat tenunan tradisional sutra Mandar ini dapat lestari hingga saat ini.
Tradisi menenun dalam masyarakat Mandar menjadi satu bentuk usaha keluarga yang menjadi perwujudan dari konsep sibali parri yang mendudukkan perempuan sebagai pendamping kaum lelaki untuk bersama-sama memikul tanggung jawab membangun keluarganya. Di samping itu tradisi menenun juga menjadi lembaga pendidikan keluarga bagi anak-anak remaja putri Mandar untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan budaya.
Sarung Mandar yang bercorak kotak-kotak dibangun atas garis-garis lurus yang berdiri vertikal dan melintang secara horizontal dan saling berpotongan antara satu dengan yang lainnya. Garis-garis tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kuat dan tegasnya aturan dalam masyarakat mandar yang mengatur hubungan secara vertikal antara rakyat dan pemimpinnya dan di antara sesama pemimpin atau sesama rakyat secara horizontal dengan memperhatihan strata-strata dalam masyarakat. Selain itu juga ditemukan hubungan yang yang senantiasa dipelihara oleh masyarakat mandar dalam kehidupan religius mereka dengan menjaga hubungan dengan manusia (hablumminannas) dan hubungan dengan Allah (hablumminallah).
Oleh masyarakat Mandar menyebut bentuk garis-garis yang saling berpotongan itu sebagai “pagar”. Sesuai dengan fungsinya maka pagar adalah sebuah benda yang ditemukan dalam kehidupan yang berfungsi untuk 1) menjaga dan melindungi rumah atau sesuatu dari ancaman atau gangguan dari luar dirinya, 2) pagar juga berfungsi untuk menjadi pemisah antara yang hak dan yang bukan dan pemisah bagian-bagian dari suatu keutuhan. Sehingga dalam kehidupan sarung sutra Mandar yang berbentuk pagar itu dapat dijadikan penjaga dan pelindung kehormatan bagi pemakainya. Sarung Mandar sebagai pemisah dapat maknai bahwa orang yang memakai sarung menutup bagian-bagian tubuh yang harus tertutup sebagai bagian kehormatan manusia. Selain itu dengan melihat orang memakai sarung sutra maka akan diketahui strata sosial seseorang.
Sekian.
------------------------------------------------------------------------------------
Senin, 24 November 2008
PUISI OKTOBER
Musim Berganti
Berdiri di beranda hari
temani pesta rinai hujan
Sambil membasuh kaki petani
yang berlumpur
karena kemarin gagal panen,
dan menarik sampan
yang dikirim badai ke pantai.
Kukabarkan pada kekasih
“Hari ini awan berarak
tinggalkan musim berlalu
tapi luka terlanjur dalam
tergores pada tanah
dan dinding batu jiwaku”.
Menggendong Rindu
Malam di puncak Oktober
meniupkan aroma cinta diubun2
meski jauh kukenang pula segala
melati di rambutmu.
Aku melangkahi fajar
sambil kugendong rinduku
yang minta mainan usang
yang dulu terbuang dan terabaikan
Samar
Ada yang mengetuk uluhati Agustusku
Diam-diam menyelinap di lorong kenangan yang samar
Membongkar lemari yang tersudut di ruang ingatan
Membuka lembar-lembar catatan yang tertinggal
Sambil menyodorkan tagihan cinta yang tertunda
Dan waktu memasung aku disimpang jalan
Pada mentari yang menusuk ubun.
PUISI-PUISIKU
PUISI-PUISI Amarah:
AMARAH
Matahariku retak
Ketika langit kembali pecah tujuh
Tapi air mata tak ada menetes
Karena tangis terlanjur jadi beku
Menjelma amarah menulis selogan
Pada kain-kain lusuh di lipatan almari
Dikibarkan dalam bayang tegak lurus
Di atas jalan penuh luka bernana
Menorehkan barisan panjang derita
Mencatat kesedihan yang dulu tersimpan
Tak ada lagi rasa sakit
Yang tersisa hanya harapan
Tergantung lunglai di puncak gala zaman
Terbakar senja yang tiba terlambat
tanpa suara dalam sepi yang dalam
USAI
Dulu pernah kusembunyikan
Kisah duka di balik kutangmu
Sambil kusaksikan keningmu yang rata
Sembunyikan sajak-sajak dusta
Penuh khianat dan cinta palsu
Aku ingin kembali mencari gairaku
Yang dulu kucecerkan di perutmu
Sambil menagih setumpuk derita
Dan kucincang mimpi-mimpi
Yang mulai subur di pinggulmu
Sekarang izinkan aku pada waktu
Menuai buah dihalaman percintaan kita
Sambil keteguk air mataku sendiri
Dan mencicipi darah yang meneteskan luka
Biar semua kisah kasihku jadi tuntas
BERITA BUAT KEKASIK
Saat rembulan memotong malam
Kekasihku menahan air mata
Ada lara yang harus ku tulis
Jadi bait-bait sajak yang kukenang
Biar dibaca para mahasiswa
Yang berlari keluar kampus
Membawa spanduk dengan slogan
Biar kukabarkan pada mereka
Bahwa hari ini kita berkabung
Ketika cinta berbuah air mata
Dan kasih sayang dicumbui derita
Kabarkan, kabarkan pada pilar-pilar almamater
Bahwa di kakimu rembulan terluka
Tertusuk belati yang kau titipkan
Ketika cinta mulai bersemi
ALAMAT DI KARTU NAMA
Ada waktu habis terkikis
Oleh bujuk rayu tanpa ujung
Hanya menunda sebelum saatnya tiba
Kita terkubur oleh mimpi-mimpi sendiri
Siapa yang berlari….
Matahari akan menikam punggungnya
Hingga terbakar sisakan sepenggal cerita
Bahwa di negeri ini ada yang mati kelaparan
Lalu mencoreng moreng wajah-wajah pualam
Tapi apa peduli kita…
Syair belum juga usai ditulis
Sementara akasara telah habis
Tumpah di jalan-jalan
Terbakar dalam angan-angan
Kasih, biarkan aku untuk terakhir kali
Kukenang segala bau rambut dan darahmu
Biar perut ini lapar asal kutahu
Alamat liang lahat yang dulu kau tulis
Di balik kartu namamu.
WARISAN
Ada yang mati tertikam
Dalam antrian minyak tanah di depot
Kata ibu lusuh yang menyaksikannya
Perkaranya sejak kemarin
Saat berebut mengambil jatah raskin*
Di kantor pak lurah yang heran
Istrinya yang hamil tua menunggu biaya
Yang tiba adalah jasad kaku ditemani duka
Tak ada minyak tanah, raskinpun tak dapat
Darah meleleh di tanah
Melukis derita yang diwariskan
Entah pada siapa.
*raskin = beras miskin
Catatan langit
Aku belum juga usai
Saat langit menuliskan sejarah moyangku
Dan membuat catatan warna lahatku
Sedang semua nyanyian belum sempat ku senandungkan
Anak-anak menangis kerena perutnya tergigit cacing
Dan ibu yang memeras susunya yang kian gersang
Tanpa kau dengar bisik keluhnya
Yang merayap diantara anyaman tikar di balai-balai
Dan duka yang diseret pada ruang-ruang hampa
Mencecerkan air mata yang mengalir ke tong sampah
Sore ini hujan turun
Menghapus semua cacatan langit yang kian purba
Juli 2008
Kota Makassar Lokalitas, Identitas dan Modernitas
Oleh: Shaifuddin Bahrum
Penduduk Sulawesi Selatan terutama daerah-daerah pesisir pantai oleh para ahli prasejarah berpendapat bahwa mereka berasal dari daerah Yunnan (Funan), seperti halnya orang-orang Manado, Sunda, Jawa, Bugis, Makassar, dan Mandar. (Juga orang Toraja yang masuk dari selat Makassar melalui sungai naik ke dataran dan masuk ke pelosok melalui sungai Sa’dang). Dari dataran tinggi Yunnan bangsa Deutro Melayu itu menuruni lereng-lereng gunung ke dataran rendah sambil mengembangkan budaya perunggu. Mereka biasa pula disebut orang Dong Son sebuah kota dekat Vietnam Utara. Diperkirakan mereka pindah menyerbu Nusantara sekitar tahun 1500 SM. Nusantara sebagai daerah baru mereka adalah daerah kepulauan sehingga mereka dituntut untuk cinta laut dan terampil di laut.
Kota Makasssar merupakan salah satu kota tua yang ada di kepulauan Nusantara, karena selain kota ini telah meninggalkan sejarah panjang juga telah mengalami perkembangan sosial dan budaya silih berganti hingga hari ini. Pada zaman kejayaan raja-raja, Makassar dikenal sebagai sebuah kota pelabuhan (bandar) niaga yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Makassar, yang merupakan salah satu daerah taklukan kerajaan Majapahit pada masa kejayaan Gajah Mada (1364), sebagaimana dalam kitab “Nagarakartagama”.
Sulit untuk diduga kapan awal kata Makassar itu hadir di muka bumi ini, karena tak ada data yang akurat yang ditemukan oleh para ahli sejarah yang dapat dijadikan patokan untuk menentukannya. Akan tetapi sumber-sumber yang ditemukan hanya merupakan catatan perjalanan yang menemukan kampung dan masyarakat yang menyebut dirinya orang Makassar atau menamakan kampungnya Makassar.
Sumber data tertua yang menyebut nama Makassar yakni dalam Suma Orientale yang ditulis oleh Tome Pires dan disunting oleh Armando Costesao dari catatan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513, mengemukakan bahwa: karena letaknya di daerah pesisir ujung selatan pulau Sulawesi bagian Selatan, daerah ini menjadi salah satu pusat dagang yang termasyhur di Nusantara bahkan di dunia internasional. Berbagai bangsa datang ke wilayah ini untuk berlabuh sambil memperdagangkan barangnya sambil membeli hasil bumi. Orang Makassar telah melakukan perdagangan dengan Malaka, Jawa, Borneo, Siam dan semua negeri antara Pahang dan Siam.
Selain dikenal sebagai wilayah pelabuhan yang bertaraf internasional, Makassar juga dikenal pada masa itu (sekitar abad XVI) sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebiasaan dan kehidupan di laut. Orang Makassar adalah pedagang-pedagang cekatan dengan perahu-perahu yang besar dan indah, juga dikenal sebagai bajak laut yang menguasai perairan di dekat pulau Pegu (Philipina), di Maluku, Banda, dan semua pulau di sekitar Pulau Jawa.
Ketenaran Makassar juga dikenal sebagai sebuah suku bangsa (etnis), yang menggunakan bahasa sendiri (Bahasa Makassar). Mereka mendiami pesisir ujung selatan jazirah Sulawesi Selatan mulai dari pesisir Makassar (sekarang) atau muara sungai Tallo-Jeneberang sampai Bantaeng di selatan yang meliputi negeri-negeri, Galesong, Takalar, Topejawa, Laikang, Cikoang, dan Bangkala.
Sampai sekarang pun negeri-negeri itu disebut negeri-negeri orang Makassar (Parasanganna Mangkasarakka). Dalam kitab Negarakartagama Makassar juga meliputi Bantayan atau Bantaeng dan Selaya atau Selayar. Sekarang daerah orang Makassar adalah daerah Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bulukumba dan Selayar (di bagian Selatan Kota Makassar) dan juga daerah Maros, juga sebagian Pangkajene Kepulauan atau Pangkep (di bagian Utara Kota Makassar).
Selain menggunakan bahasa sendiri yakni bahasa Makassar, suku bangsa ini sudah pula mengenal aksara yang mereka sebut lontaraq. Aksara ini diperkirakan berasal dari aksara Sansekerta yang dikembangkan sehingga menemukan bentuknya sendiri.
Ketika Gowa berkembang menjadi sebuah kerajaan besar yang melindungi semua negeri orang Makassar, sebagai sebuah kerajaan maritim, komunitas ini mengembangkan pangkalan armada niaganya di Macini Sombala muara sungai Jeneberang sampai ke utara antara sungai Jeneberang dengan sungai Tallo. Di situlah terletak kota Makassar sekarang, yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan bebas Kerajaan Kembar Gowa-Tallo (Makassar).
Seiring dengan pertumbuhan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) menjadi kerajaan yang utama di Sulawesi Selatan, tumbuh pulalah pelabuhan utamanya menjadi pusat pedagang-pedagang di seputar Nusantara, orang Eropa dan Cina.
Sebagai negeri yang terletak di bagian pesisir dengan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan internasional sejak abad ke-16 atau mungkin lebih jauh lagi mendahului, Makassar mengakomudir berbagai suku bangsa dan menerima kedatangan pedagang-pedagang dari berbagai negeri dan bangsa, tidak terkecuali bangsa Cina yang sangat agresif dalam dunia perdagangan.
* * *
Awal abad ke- 20 adalah masa pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun 1905 kerajaan-kerajaan di daerah ini yang dulu mashur dan berjaya takluk di bawah kekuasaan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Pada tanggal 1 Agustus 1906 status Makassar sebagai pelabuhan bebas dihapuskan dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda.
Makassar pada era tersebut kemudian dibagi dalam enam distrik, yaitu Distrik Makassar, Wajo, Ende, Ujung Tanah, Melayu, dan Mariso. Distrik Makassar, Wajo, Melayu, dan Ende, masing-masing diperintah oleh seorang kepala dengan gelar ‘kapitan’, sedangkan Distrik Ujung Tanah dan Mariso masing-masing diperintah oleh ‘gallarang’. Khusus untuk orang-orang Cina mempunyai pimpinan sendiri yang disebut Mayor Cina (Mayoor der Chineezen) yang dibantu oleh seorang kapiten, dua letnan, dan beberapa kepala kampung (wijmeesters) (Gelar leitenant baru dipakai untuk kapala umat asing pada permulaan abad ke 19, sebelumnya hanya dilantik mayoor. kapitan, dan wijkmeesters). Leitenan pertama di angkat pada tahun 1852. Sedangkan orang-orang Timur Asing bukan Cina diperintah oleh seorang pejabat dengan gelar kapitein.
Sebagai pusat perdagangan yang mayoritas dihuni orang Cina terletak di Passarstraaat (Jalan Pasar sekarang Jalan Nusantara). Dulu pada jalan ini sebelum diadakan pembangunan dan perluasan kawasan pelabuhan Makassar, di kiri dan kanannya terdapat sejumlah bangunan. Di salah satu sisi jalan itu terdapat gedung-gedung dan kantor-kantor pedagang-pedagang Eropa, sedangkan sisi lainnya terdapat toko-toko Cina dan orang Timur Asing lainnya. Tidak jauh dari pelabuhan pada arah selatan terdapat Fort Rotterdam yang terletak di sebelah selatan dari lapangan yang bernama Prins Hendrik Plein (yang kini adalah bangunan RRI Nusantara IV dan Jalan Karaeng Riburane).
Passarstraat sebagai pusat perdagangan maka daerah ini juga menjadi pusat aktivitas orang-orang Cina di Makassar yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Mereka pun membawa barang dagangannya ke daerah pedalaman meskipun kemudian mereka mendapat batasan dari pihak pemerintah.
Pada tahun 1921 Distrik Melayu dan Ende dihapuskan. Distrik Melayu digabungkan ke dalam Distrik Wajo, sedangkan Distrik Ende dibagi ke dalam wilayah Distrik Makassar dan Distrik Wajo. Maka dengan demikian di Kota Makassar dari tahun 1921-1959 hanya terdapat 4 distrik yaitu: Distrik Makassar, Wajo, Ujung Tanah, dan Mariso. Pada masa berikutnya Kota Makassar mengalami beberapa kali perubahan status.
Kota Makassar yang dulunya hanyalah sebuah wilayah pelabuhan yang didiami oleh sekelompok orang (suku) Makassar terus mengalami perkembangan dan perluasan wilayah. Kota Makassar menjadi pusat kegiatan perdagangan (ekonomi), politik, sosial, dan budaya di bagian Timur Nusantara (Indonesia). Berbagai suku bangsa berdatangan ke negeri ini dan menetap serta melakukan aktivitas kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkampungan-perkampungan suku-suku bangsa di Makassar dalam wilayah-wilayah tertentu. Misalnya Kampung Melayu merupakan perkampungan orang Melayu, Kampung Ende adalah perkampungan orang Ende, Kampung Butung dihuni oleh orang-orang Buton, Kampung Wajo dan Mampu merupakan perkampungan orang-orang Bugis, Kampung Balandaya adalah perkampungan orang Belanda (Eropa), Kampung Cina adalah perkampungan orang-orang Cina. Selain kampung-kampung di atas selebihnya adalah perkampungan orang-orang Makassar (pribumi) yang merupakan penduduk mayoritas.
Selain perkampungan orang Eropa, perkampungan-perkampungan lainnya tidak bertahan lama, karena proses asimilasi antara suku bangsa di Makassar terjalin dengan baik. Saling pengaruh budaya berlangsung dengan sangat bersahabat sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa tiap-tiap suku bangsa melebur menjadi satu kesatuan budaya, karena masing-masing suku bangsa dengan latar budaya yang berbeda mempertahankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya mereka masing-masing.
Penduduk Makassar pada masa pendudukan Belanda di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yakni; Kelompok bangsa Eropa, Timur Asing dan Inlander (pribumi). Orang Cina masuk dalam kelompok Bangsa Timur Asing.
Jumlah pertumbuhan warga Cina di Makassar sejak abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-20 berkisar 20% dari jumlah penduduk pribumi, lebih banyak dari suku bangsa asing lainnya, termasuk bangsa Eropa.
Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai pada tahun 1750 jumlah orang Cina di Makassar tidak lebih 500 orang tetapi jumlah itu pelan-pelan bertambah pada pertengahan tahun 1800-an. Tahun 1895 populasi mereka kira-kira 2534 jiwa. Tetapi pada tahun 1915 melonjak menjadi 6483 jiwa. Kemudian pertumbuhan mereka melonjak dua kali lipat 15 tahun kemudian yakni pada tahun 1930, berjumlah 15.400 jiwa.
Pada masa pendudukan Jepang yang dilanjutkan selama revolusi sudah dipastikan mengalami fluktuasi yang sangat besar. Setelah perang kemungkinan terdapat 30-35 ribu orang Cina di Makassar. Ini kira-kira 20% dari total populasi dari masyarakat yang bukan Cina, jauh lebih besar daripada tahun 1915.
Tahun 1981 jumlah orang Cina yang bukan WNI sebanyak 24.676, menurun menjadi 16.839 pada tahun 1992. Penurunan itu disebabkan banyak orang Cina yang menjadi warga negara.
Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan orang Cina di Makassar tidak lagi ditandai dengan sebuah nama yang khusus, tetapi perkampungan mereka masuk dalam wilayah Kampung/ Kelurahan Melayu di Kecamatan Wajo. Meliputi antara lain Jalan Nusantara, Jalan Sulawesi, Jalan Somba Opu, Jl. Irian, Jl. Diponegoro, Jl. Seram (Tentara Pelajar), Jalan Sangir, dan sekitarnya. Pada peringatan tahun baru Imlek/ Capgomeh (pada hari ke 15 Imlek) Pebruari 2003, Cina Tawn kembali diresmikan dan ditandai dengan sebuah pintu gerbang besar di ujung selatan jalan Lembeh. Peresmian kawasan Cina Taown tersebut dilakukan oleh Wali Kota Makassar Drs. Amiruddin Maula, M.Si.
Orang Cina yang datang dan menetap di Makassar membangun lembaga sosial dan budayanya sendiri sambil beradaptasi, berasimilasi, berakulturasi dan berintegrasi dengan masyarakat dan budaya Makassar.
* * *
Secara geografis Kota Makassar dewasa ini terletak pada posisi 119 24 17’ 38” Bujur Timur dan 5 8 6’ 19” Lintang Selatan, dan berada pada 0 – 25 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah ibu kota Propinsi Sulasewi Selatan ini sekitar 175, 77 km persegi.
Oleh karena posisi geografis yang demikian dan letaknya di pinggiran pantai maka kota ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata 22 – 32 C, dan hanya mengenal dua musim seperti wilayah lain di Indonesia yakni musim kemarau dan musim hujan.
Kota Makassar berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene Kepulauan di sebelah Utara, kabupaten Maros di sebelah Timur, Kabupaten Gowa di sebalah Selatan dan Selat Makassar di sebelah Barat.
Di Kota ini bermukim selain suku Makassar juga terdapat dalam jumlah yang cukup besar orang-orang Bugis, Mandar dan Toraja. Selain itu, juga ada orang Jawa yang tidak sedikit, orang Ambon, Minangkabau, Banjar, Batak, dan suku bangsa lainnya. Bahkan ada pula masyarakat dari keturunan Arab, Pakistan, India, Melayu, Cina, Eropa, dan bangsa asing lainnya. Diantara bangsa pendatang masyarakat keturunan Cinalah yang jumlahnya cukup besar.
Penduduk Makassar yang berjumlah 1.112.688 pada tahun 2000 tersebar di empat belas kecamatan dengan mata pencaharian yang beraneka ragam, antara lain sebagai karyawan pada kantor pemerintah atau swasta, tentara, polisi, usaha jasa, pedagang, dan selebihnya hidup sebagai nelayan dan petani serta peternak. Khusus nelayan, petani dan peternak bermukin di daerah pinggiran kota, misalnya di Kecamatan Biringkanaya, Tamalate, dan Manggala.
Orang Makassar adalah pemeluk agama Islam yang taat melakukan syariat. Sekitar 88,6 % penduduk kota metropolitan ini memeluk agama Islam sedangkan yang lainnya memeluk agama Kristen baik Katolik maupun Protestan (sekitar 9,3%), sisanya meragama Hindu (0,6%), Budha (1,5%) dan dalam jumlah kecil masih memeluk agama Konghucu. Orang Cina di Makassar rata-rata adala pemuluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), dan Konghucu atau Budha. Hanya sebagian kecil yang memeluk agama Islam.
Sebagai kota dengan masyarakat beragama maka kota ini dihiasi pula dengan rumah-rumah ibadah dengan arsitektur yang indah. Baik arsitektur yang berakar dari tradisi Makassar, maupun arsitektur yang berasal dari luar (Eropa, Arab, India, Cina dan lain-lain sebagainya). Selain mesjid dan gereja yang cukup banyak juga dapat ditemukan bangunan-bangunan ibadah orang Tionghoa berupa klenteng, atau vihara. Terutama yang berada di daerah China Town (Kampong Cina).
Karakter Orang Makassar
Pada 2002 yang lalu, seorang kawan saya dari LIPI Jakarta; Sutamat mengikuti suatu seminar Internasional di Kota Makassar. Ia memilih tinggal di sebuah rumah kawan kami di daerah kecamatan Tallo dekat pelabuhan Potere dan meninggalkan jatahnya di hotel yang disiapkan panitia. Kunjungannya ke Makassar adalah yang pertama kalinya selama ini dia selalu mendapat tugas di bagian Barat Indonesia.
Di Potere dia berinteraksi dengan masyarakat dan nelayan, bergaul dan bercengkrama. Di pagi hari sebelum berangkat ke tempat seminar di sebuah hotel berbintang di daerah ini dia bisa menikmati sarapan pagi bersama nelayan yang baru saja pulang melaut.
Beberapa minggu kemudian setelah seminar itu, kami bertemu lagi dengan Pak Tamat (panggilan akrab saya padanya) di Jakarta. Kawan saya itu kemudian menceriterakan secara polos kesannya terhadap masyarakat Makassar yang sempat ia kenali selama empat hari. “Sungguh saya merasa terkecoh dengan pemberitaan selama ini, Mas”, kata kawan saya memulai ceritanya.
“Terkeco bagaimana, Mas”, Tanyaku membalas, karena tak mengerti arah ceritanya.
“Selama ini yang saya baca di buku-buku, media massa, dan pemberitaan tentang Makassar, menggambarkan bahwa Makassar itu adalah sebuah kota dengan masyarakatnya yang berkarakter kasar, anarkis. Setiap saat bisa terjadi kekerasan, perampokan, perkelahian, dan bahkan pembunuhan. Di daerah ini pada zaman dahulu banyak berasal para bajak laut, perampok, dan lain-lain sebagainya. Singkat kesan saya dari hasil pembacaan literature, Makassar itu seperti Kota Texas di film-film koboi Amerika. Tapi kenyataan yang saya temui ternyata lain, Mas”, katanya mengambil jedah. “Lain bagaimana?...” umpanku untuk menangkap kesannya lebih jauh.
“Saya benar-benar terkecoh, Mas. Masyarakat yang saya gauli selama empat hari saya di Makassar ternyata terbalik 180 derajat dari apa yang saya baca selama ini. Mereka semua ramah-ramah, halus, sopan-sopan, peduli terhadap orang lain, dan menghargai tamu seperti raja…” tuturnya dengan penuh kesungguhan seorang Jawa.
“Bayangkan saja, Mas”, lanjutnya. “Tetangga mas Budi; Daeng Rani yang baru saya kenal pada saat itu setiap pagi membawakan saya ikan, dan kami bakar di depan rumah lalu kami makan bersama. Istrinya setiap pagi membuatkan kami sambel yang luar biasa nikmatnya. Kami tiba-tiba seperti jadi keluarga (saudara) yang sudah lama kenalan. Hal ini jarang saya temukan di daerah lain, Mas. Saya ini peneliti yang sudah mendatangi hampir separuh provinsi di Indonesia ini”, sambungnya. Dia juga masih memberikan pujian-pujian yang panjang dalam pertemuan kami itu.
Dia benar-benar terkesan dengan masyarakat Makassar yang ditemuinya. Bukan hanya kawan-kawan barunya yang ia cerita tetapi juga kesannya selama mengikuti seminar dan kesempatan jalan-jalan di kota ini.
* * *
Apa yang diceritakan Pak Tamat, tentu bukanlah hal yang mengada-ada, demikian pula dengan pemberitaan dan berbagai informasi yang menyebar di luar sana tidak juga sepenuhnya salah. Hanya saja yang mesti dicermati adalah kurun waktu (zaman) informasi itu datang dan dalam situasi apa? Karena setiap kurun waktu memiliki jiwa zamannya tersendiri. Demikian halnya setiap situasi membentuk karakter manusianya berbeda pada situasi yang lain.
Pada zaman peperangan pada abad ke 17 masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar merupakan masa pergolakan kerajaan-kerajaan di daerah ini. Kerajaan-kerajan melakukan perang saudara sehingga banyak jatuh korban di antara mereka sendiri. Dan pada abad ke 18-19 adalah masa pendudukan penjajah Belanda dan masyarakat Sulsel melakukan perlawanan sengit. Bukan hanya di daeratan tetapi juga di lautan sehingga terjadi pula perampokan dan pembajakan di laut terhadap kapal-kapal dagang Belanda dan sekutunya.
Pada awal kemerdekaan pergolakan sosial masih terus terjadi di daerah Sulawesi Selatan. Di mana-mana terjadi kekerasan, penculikan, terror, pembunuhan massal, dan kekerasan lainnya.
Sepanjang perjalanan waktu itu yang melakukan kekerasan, peperangan, perampokan, pembajakan di laut, pembunuhan dan lain-lain adalah orang-orang tertentu, hanya dari kangan militer atau pesukan tentara kerajaan. Situsi perang ini mengharuskan mereka melakukan kekerasan-kekerasan itu, karena jika mereka tidak membunuh maka merekalah yang akan terbunuh. Situasi-situasi inilah yang membentuk karakter keras mereka.
Tetapi di sisi yang lain masyarakat Bugis-Makassar ada juga yang memelihara kehalusan budinya, menjaga tatakrama yang halus, dan menegakkan adat istiadat mereka. Pada sisi ini mereka menolak kekerasan dan justru mengagungkan keramah-tamahan, memuliakan akhlak yang baik, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Justru dari sisi ini sangat menghinakan orang yang melakukan kekasaran dan kekerasan serta melanggar tatakrama. Orang Bugis Makassar akan memberi hukuman berat bagi pelanggar adat-istiadat dan berlaku anarkis dalam masyarakat.
Sehingga banyak orang Makassar yang bersifat arif bijaksana, berjiwa solidaritas tinggi terhadap sesamanya, dan menjunjung tinggi harkat dan bartabat manusia. Citra manusia Makassar yang seperti ini sangat bertentangan dengan citra yang pertama. Karena ada situasi dan zaman yang membedakannya.
* * *
Kedua karakter ini tetap tumbuh dalam masyarakat Makassar hingga saat ini. Hanya saja dewasa ini masyarakat Makassar sudah semakin cerdas sejalan dengan kemajuan zaman. Di kota ini terdapat sejumlah perguruan tinggi yang memberikan pengayaan intelektual kepada masyarakat, sehingga karakter keras itu tidak lagi menjadi liar seperti tentara kerajaan terapi sudah dikemas dengan kecerdasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Makassar adalah masyarakat keras, tetapi harus dipahami tidak seperti pada abad-abad yang silam. Kerena dewasa ini mereka keras melakukan perlawanan terhadap pembodohan, kesewenang-wenangan, dan kepada pemiskinan. Tetapi sekali lagi perlawanan itu adalah perlawanan intelektual dan kultural.
Secara permukaan masih seringnya terjadi letupan-letupan kekerasan atau kekasaran, tetapi itu bukan sesuatu yang harus dirisaukan benar, karena waktu akan terus mencerahkan keintelektualan mereka dan memperkaya kulturalnya.
Hanya saja yang mesti selalu diciptakan adalah suasana kondusif agar selalu ada ruang-ruang untuk berdialog, berdiskusi, dan melakukan exersice-exsercise yang bisa menambah wawasan dan kecerdasan masyarakat kota ini.
Semakin cerdas masyarakat kota ini maka kekerasan dalam arti yang lama akan terkikis secara perlahan-lahan dan perlawan akan dilakukan secara intelektual dengan daya juang yang lebih kuat dan gigih . Juga akan muncul lebih jelas karakter masyarakat Makassar yang berbudi pekerti, berakhlak mulia, beradat istiadat, bersolidaritas tinggi, serta menghargai nilai-nilai kemanusiaan.