Sastra lisan yang banyak tersebar di Nusantara menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia yang senantiasa harus dilestarikan dan kembangkan. Sastra lisan tersebut telah membuktikan dirinya sebagai media sekaligus sebagai guru masyarakat yang memberikan pengajaran etika dan moral kepada masyarakat pendukungnya. Tuturan-tuturan tersebut telah ikut membentuk kepribadian manusia-manusia Indonesia menjadi kuat dan tangguh.
Demikian halnya di Sulawesi Selatan khususnya dalam masyarakat Etnik Makassar yang mendiami pesisir pantai jazirah selatan Pulau Sulawesi. Masyarakat Makassar mengenal berbagai sastra Lisan baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang baik dalam bentuk prosa maupun puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik. Jenis sastra yang dituturkan selain dinamai sesuai dengan alat musik yang mengiringinya juga ia diberinama tersendiri sesuai nama sastra tersebut. Beberapa sastra prosa dinamakan sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan jalan dinyanyikan karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi diberi nama kelong yang seara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.
Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).
Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong¬¬ sekarang ini di atas 70 tahun dan hanya mewariskan kepada beberapa orang generasi muda. Hal inilah menggugah perhatian kami untuk melakukan penelitian/perekaman agar sastra lisan ini dapat dipertahankan keberlanjutannya dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakatnya dewasa ini (Solihing, 2004; 5) .
Tradisi Lisan Royong sangat terkait dengan strafifikasi sosial masyarakat etnik Makassar. Dalam masyarakat Makassar dikenal tingkatan masyararat antara lain:
1). kelas atas adalah keluarga raja yang berkuasa (Sombaya),
2). bangsawan (karaeng),
3). masyarakat biasa yang bebas dari perbudakan (Tomaradeka),
4). budak (ata).
Adapun tingkatan royong dikenal adanya:
1. Royong Bajo yang digelar untuk kalangan/ keluarga raja (sombaya), b.
2. Royong Karaeng untuk kalangan bangsawan
3. Royong Daeng untuk kalangan tomaradeka
Sementara kalangan budak tidak ditemukan jenis royong untuk kereka.
2 komentar:
Makasih atas postingannya.. Kalau boleh tau tempat bisa mendapatkan sumber untuk di wawancarai tentang royong di makassar ada di daerah mana ya? trims
Posting Komentar