Shaifuddin Bahrum
Tiba-tiba saja kita digandrungi berita tentang perseteruan Cicak dan Buaya. Di mana-mana orang membicarakan bagai mana sepak terjang keduanya dan siapa-siapa yang berada di belakang mereka. Di face book sebagai balai pertemuan raksasa juga orang-orang dari berbagai pelosok dunia memberikan pula komentarya. Pertarungan semakin seru ketika dibentuk presiden membentuk Tim Indipenden Verifikasi Fakta yang diketua oleh Adnan Buyung Nasition dan digelar acara dengar bersama rekaman pembicaraan telepon hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lalu kita pun tersentak dengan setumpuk pertanyaan di kepala; ada apa dengan bangsa kita?
Meskipun awalnya banyak yang tidak paham dengan persoalan sesungguhnya akan tetapi setelah menyaksikan beberapa tayangan televisi, dan membaca pemberitaan yang ada lalu kemudian persoalannya kian semakin jelas. Kita pun semakin tahu siapa-siapa saja tokoh yang berperan di dalam cerita tersebut, lantara beberapa tokoh di dalamnya adalah pemain yang sudah popular dan juga kita berkenalan dengan tokoh-tokoh baru. Dari tokoh-tokoh yang berperan tersebut kemudian muncul bayangan samar-samar tentang siapa buaya dan siapa yang cecak.
Buaya menjadi ikon lembaga yang lebih besar dan cicak adalah lembaga yang lebih kecil. Buaya itu adalah simbol Polri dan Kejari dan cicak adalah KPK. Polri dan Kejari adalah lembaga yang memiliki jumlah personil dan jejaring yang lebih banyak di banding dengan KPK yang jumlahnya tidak banyak. Meskipun ada juga pengamat yang meletakkan kedua simbol itu secara terbalik. Simbol buaya diletakkan pada lembaga KPK, dan cicak pada Polri dan kejaksaan. Hal ini karena melihat wewenang yang ada pada kedua lembaga tersebut. Logikanya masa ada cicak yang bisa menelan buaya, KPK kan bisa mengejar-ngejar polisi dan jaksa, bisa menyadap telepon mereka.
Pertarungan Cicak dan Buaya ini pada dasarnya adalah sebuah pertarungan dalam rangka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kedua masalah ini sudah menjadi persoalan yang sangat mengganggu kehidupan bernegara kita. Pelakunya diperankan oleh para elit-elit negara kita dengan sokongan dana dari pengusaha-pengusaha besar (konglomerat) atau pakai duit negara. Sejak awal reformasi (1998) masalah ini sudah terkuak dan masalah tampak dengan jelas. Akan tetapi setelah 11 tahun perjalanan reformasi masalah ini tidak bisa terselesaikan dengan tuntas. Karena masih terkendala oleh permainan catur tingkat tinggi di sekitar istana. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi masih tebang pilih, dan kita sebagai rakyat biasa hanya bisa manggut-manggut menyaksikan pertunjukan sandiwara terjadi.
Dalam pertarungan cicak vs buaya ini kita juga kemudian tersadar bahwa ternyata hukum dan korupsi masih terus berlangsung di negeri ini karena selalu ada orang yang bisa membeli hukum dengan uang yang banyak. Uang bisa mengatur hitam putihnya keadilan di polisi dan di kejaksaan. Hal ini membuat kita semakin kehilangan kepercayaan pada institusi-institsi penegak keadilan. Karena symbol Dewi Keadilan yang ditutup matanya ternyata selama ini tipuan belaka, karena dia masih bisa melirik dan tergiur dengan uang. Atau mungkin kasus ini juga kita sudah tahu, tetapi tidak mau atau enggan berbicara, atau mungkin kita masih tergolong pelaku-pelaku ketidakadilan itu. Bisa saja, yang menyuburkan ketidakadilan dan korupsi di negeri ini adalah bersumber dari rakyat yang terbiasa bermain-main dengan uang dengan alas an klasik “demi lancarnya urusan”. Padahal tanpa kita sadari kitalah yang menanam bibit, dan memupuknya. Mulai dari tingkat bawah di kelurahan atau di desa, dengan menyogok tukang-tukang sapu/sampah, penjaga pintu, pegai lurah lurah, pak lurah, pak camat, polisi yang jaga di pinggir jalan atau di pos-pos penjagaan, sampai kemudian ditingkat yang lebih tinggi, semuanya kita biasakan member sogokan. Akhirnya beginilah jadinya negeri kita ini…
Entahlah, apakah kita termasuk dalam kelompok yang memihak pada cicik atau pada buaya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar