Warga Tionghoa di Makassar kini bukan lagi warga Tionghoa 10 tahun yang lalu. Warga yang senantiasa diliputi rasa ketakutan dan was-was dan hidup dalam tekanan sosial, budaya dan politik. Setelah reformasi warga Tionghoa khususnya di Makassar telah bermetamorfosis menjadi masyarakat Indonesia sepenuhnya baik secara pisik maupun secara psikologis.
Khusus dalam dunia politik, selama pemerintahan Orde Baru mereka sama sekali tidak bisa melangkahkan kakinya masuk ke ruang itu. Selain mereka di batasi oleh berbagai aturan terutama Undang-undang (UU) Kewarganegaraan, juga mereka memiliki trauma yang sangat dalam. Sehingga politik adalah yang mereka haramkan yang mereka wariskan secara turun temurun, meskipun mungkin mereka sangat mengimpikannya.
Undang-undang Kewarganegaraan yang lama mempersulit orang Tionghoa untuk terlibat dalam dunia Politik karena UU tersebut tidak mengakui secara juridis warga Keturunan Tionghoa sebagai warga negara, terkecuali mereka mengurusnya dan berupaya memperoleh Surat Keterangan Berkebangsaan Republik Indonesia (SKBRI) dengan harga yang sangat mahal. Karena mereka tidak di akui sebagai warga negara maka mereka tidak bisa terlibat dalam hal yang bersentuhan dengan negara. Termasuk tidak bisa menjadi pegawai negeri, menjadi tentara dan polisi, menjadi anggota partai, anggota legislative, bupati, walikota, gubernur, terlebih lagi menjadi menteri, presiden maupun wakil presiden.
Padahal dalam masyarakat Tionghoa terdapat potensi-potensi dengan kualitas yang baik untuk menduduki jabatan-jabatan/ pekerjaan tersebut. Akhirnya mereka bertumpuk menjadi pedagang dan pengusaha. Setiap hari mereka berpikir soal keuntungan ekonomi yang mereka bisa peroleh, sambil memperkaya diri. Selama 32 tahun lamanya mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut memikirkan nasib dan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana mereka sebagian besar sudah lahir di negeri ini.
Kalau pun ada yang sempat ikut nimrung bicara soal bangsa mereka langsung dipelototi dengan pandangan penuh rasa curiga. Mereka dicurigai karena dianggap bukan WNI. Warga Tionghoa ketika itu seakan-akan tidak punya hak untuk memikirkan Indonesia.
Akhirnya mereka yang berkeras untuk menyumbangkan pikirannya untuk kemajuan bangsa bersembunyi di belakang layar atau bertindak frontal dan kemudian menjadi musuh pemerintah.
Namun Periode akhir pemerintahan Orde Baru sebelum tumbang (1998), Bob Hasan sudah masuk dalam kabinet pemerintahan Soeharto. Lalu kemudian dalam kabinet selanjutnya setelah reformasi bermunculanlah pigur-pigur Tionghoa lainnya. Tidak hanya di kabinet tetapi juga dalam parlemen.
Pada Pemilu 1999 masyarakat Tionghoa Indonesia membentuk partai-partai yang eksklusif Tionghoa yakni Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PRTI), dan Partai Bhineka Tunggal Ika. Meskipun kedua partai ini secara perlahan-lahan ditolak sendiri oleh banyak kalangan dalam masyarakat Tionghoa. Karena mereka tidak lagi ingin terkesan eksklusif dan masih dibayangi oleh kasus Baperki.
Tokoh-tokoh Tionghoa yang mau terjun ke dunia politik lebih baik memilih partai-partai nasional, seperti Golkar, PDIP, PAN, dan lain-lain sebagainya. Hal ini mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa mereka mau berbaur dan lebur dengan saudara mereka yang lain. Beberapa di antaranya terpilih menjadi legislator dan berkantor di DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Warga Tionghoa juga sudah mulai turut aktif terlibat dalam Pilkada menjadi calon gubernur dan bupati/ walikota. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa sudah mulai menemukan jati dirinya dalam dunia politik dan pemerintahan.
Jumlah warga Tionghoa yang terlibat dalam dunia politik semakin meningkat hal ini terlihat di Makassar. Pada Pemilu 1999 orang Tionghoa yang terlibat sebagai caleg hanya dua orang, tetapi pada Pemilu 2004 tercatat 12 orang, sementara menghadapi Pemilu 2009 terdapat 24 orang Tionghoa yang terdaftar di berbagai partai politik sebagai caleg.
Secara perlahan-lahan masyarakat Tionghoa menemukan ruangnya dalam dunia politik dengan membangkitkan keberaniannya untuk menghalau segala trauma dan rasa takutnya pada masa orde baru yang lalu. Kehadiran mereka dalam dunia politik juga menunjukkan rasa cinta mereka yang besar kepada Tanah Air Indonesia.
Masyarakat Tionghoa mempunyai peluang dan harapan besar dalam dunia politik karena selain mereka kebanyakan bukan pegawai negeri, mereka pun ditunjang oleh pinansial yang relatif cukup untuk membiayai proses menuju kursi legislative. Kemampuan SDM mereka pun dapat diasah melalui proses pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar