Di daerah Pecinan Makassar terdapat sejumlah mesjid yang telah dibangun dan mencatat perjalanan sejarahnya masing-masing. Di sana terdapat masjid Makmur atau mesjid Melayu di perempatan Jalan Sangir dan jalan Sulawesi, Mesjid di Jalan Timor, dan mesjid As’said atau lazim disebut masjid Arab di Jalan Lombok. Juga terdapat masjid Mubarak di Jalan Butung, mesjid Taqmirul Masajid di Jalan ……… dan Mesjid Amanah Ende di Jalan Ende.
Sebagian mesjid tersebut berada di tengah-tengah masyarakat Tionghoa yang non-muslim. Tapi itu bukan persoalan karena semua berjalan baik-baik saja dan kerukunan yang bisa tercipta dengan baik. Buktinya tidak pernah ada keributan antaragama di sekitar kawasan mesjid. Bahkan setiap bulan Ramadhan warga Tionghoa non-muslim pun ikut membawa kue-kue (takjir) untuk suguhan buka (batal) puasa.
Acong dan Amir adalah dua anak yang hidup bertetangga di kawasan Pecinan tak jauh dari masjid Arab. Keduanya berkawan dan bersahabat. Keduanya adalah anak laki-laki usia 11 dan 12 tahun. Keduanyapun berbeda suku dan agama. Dari namanya Acong terlahir dari orang tua keturunan Tionghoa yang beragama Budha Khonghucu dan Amir anak dari orang tua yang berdarah Bugis Wajo dan beragama Islam.
Meskipun keduanya sama-sama kelas 5 tetapi ia belajar di sekolah dasar berbeda yang ada di kawasan Pecinan. Tetapi sepulang sekolah keduanya hampir tak pernah terpisahkan. Setelah mereka makan siang dan ganti baju merekapun menuju halaman mesjid. Lalu di sanalah mereka bermain bersama teman-temannya yang lain. Kadang kalau sudah lelah mereka akan tidur di teras mesjid sampai waktu ashar tiba.
Apa lagi dalam bulan puasa Amir tidak pernah alfa.
Sejak di kelas tiga SD Amir sudah dilatih oleh orang tuanya untuk menahan lapar dan dahaga hingga sore hari. Meskipun susah Amir tetap menjalaninya dan pada akhirnya sudah terbiasa. Ia pun sudah mempelajari rukun-rukun dan wajib puasa sehingga ia tahu apa yang harus dilakukannya selama berpuasa dan apa yang tidak. Secara sederhana pengetahuannya tentang puasa antara lain tidak boleh makan dan minum, tidak boleh berkata-kata bohong dan jorok, dan tidak boleh berkelahi, bertengkar, dan menangis.
Mengetahui Amir berpuasa Acong juga menunjukkan pengertian dan solidaritasnya. ia juga tidak pernah makan dan minum ketika bersama Amir. Bahkan kalo buka puasa Acong selalu mendapat sebuah kue dadar dan kue lainnya serta segelas teh atau sirup. Acong pun ikut bersama-sama Amir dan kawan-kawan lainnya berbuka puasa di mesjid. Tak ada yang mempersoalkan, tak ada yang protes. Acong dianggap sebagai bagian mereka juga di masjid itu.
Pada hari-hari tertentu ibu Acong juga meminta anaknya untuk mengantarkan kue jajanan dan minuman ke mesjid untuk berbuka puasa. Kiriman itu dilakukannya sekali seminggu, sehingga dalam bulan Ramadhan ia lakukan empat kali. Meskipun mereka bukan keluarga muslim akan tetapi mereka merasa nyaman, tentram, bahagia, jika bemberikan sesuatu ke mesjid. Tradisi ini sesungguhnya juga dilakukan oleh orang tua mereka dahulu ketika masih hidup. Kata ibunya “Ini adalah tradisi nenek kamu, yang adalah orang Makassar dan beragama Islam. Jadi tradisi ini harus tetap dilakukan setiap Ramadhan, agar hubungan silaturrahim kita tidak terputuskan.” Dan ternyata kue kesenangan neneknya dulu adalah kue dadar, kue kesenangan Acong dan Amir juga.
Tetapi tetangga keluarga Acong yang juga orang Tionghoa juga mengantarkan makanan buka puasa ke mesjid, pada hal mereka tidak punya keturunan Makassar. Mereka adalah totok yang kakek-nenek dan moyangnya semua berasal dari Tiongkok. Ketika Ibu Acong bertanya ke ibu Lanny tetangganya, ibu itu hanya menjawab “ Yah saya hanya mengikuti tradisi ibu yang mengirim kue dadar ke mesjid, saya lihat ibu bahagia memberikan buka puasa, jadi saya lakukan juga mengirim kue dadar ke sana. Lagi pula tidak ada larangan, khan, dan pengurus masjid mau menerima pemberian kita….”. Ibunya Acong hanya manggut-manggut dan tersenyum, setuju.
“Apakah orang buka puasa harus kue dadar, yah…” Tanya ibu Lanny.
“Tentu tidak..” Jawab ibunya Acong.
“Karena Acong kadang membawa kue lain pulang ke rumah sehabis buka puasa…” katanya saat hari menjelang sore. (udin bahrum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar