Di depan rumah tetanggaku Asdar Muis terdapat sebuah tiang bendera yang sepanjang tahun mengibarkan bendera sangsaka Merah Putih di ujungnya. Bendera itu tak pernah diturunkan. Semula kami tidak tahu alasannya, hanya kami mengira-ngira saja. Mungkin pemiliknya malas menaik turunkan bendera itu, atau memang mungkin tidak perduli.
Sangsaka Merah Putih yang dibiarkan menantang segala cuaca sepanjang tahun itu, perlahan memudar warnanya sehingga warnanya tidak lagi bisa disebut merah putih tetapi mungkin merah muda putih keabu-abuan, atau merah jambu pudar putih kotor yang jelas bukan lagi merah putih. Kainnya pun mulai rapuh seratnya sehingga jahitan ditepisnya sudah terlepas sebagian dan terlihat mulai kumal dan gembel.
Tapi pemiliknya tidak perduli, atau berkeinginan untuk menggantinya meskipun tiba saat orang menaikkan bendara Merah Putih pada setiap menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Entah kapan bendera itu dinaikkan dan kapan harus diturunkan. Mungkin sudah hampir tiga tahun bendera itu terus berada dipuncak tiang itu.
Setiap menjelang peringatan hari Proklamasi tetangga-tetangga sudah sibuk menaikkan bendera Merah Putih mereka yang berwarna cerah. Merahnya benar-benar berwarna merah dan putihnya adalah putih bersih. Karena bendera-bendera mereka setiap selesai peringatan agustusan maka kain berwarna merah dan putih itu diturunkan kembali lalu dilipat dengan rapi dan disimpan dalam lemari. Jadi bendera itu hanya berkibar paling tidak hanya 2 minggu lamanya di atas tiang. Sehingga dengan demikian warna dan kainnya awet.
Tetapi bendera pak Asdar dibiarkan sepanjang tahun diterpa sinar matahari dan debu atau diguyur hujan dan embun. Seorang tetangga lalu berkomentar “Pak Asdar itu memang nasionalismenya tinggi, dan untuk menandai itu tak seharipun ia tidak mengibarkan bendera kebangsaan kita.” Saat itu sang tetangga tadi masih ingin berkomentar tentang bendera yang berkibar ditiup angin sepoi-sepoi, tetapi Pak Asdar tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Rupanya sang pemilik bendera itu mendengar sejak tadi kami berdiskusi di depan rumahnya tentang bendera miliknya. Lalu ia berkata, “Ooo saol bendera itu?” Sambil memandang bendera yang mulai sobek bagian bawahnya dipermainkan angin “Kalian salah menduga….saya hanya mengamalkan lagu ciptaan Ibu Sud yang berjudul “Berkibarlah Benderaku”. Lalu dengan tidak segan-segan ia menyanyikan lagu itu dengan suara yang lantang:
Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya
“ Jadi saya hanya membiarkan bendera itu berkibar selama-lamanya dan jangan ada yang berani menurunkannya, karena jika ada yang berani menurunkan maka serentak rakyat membelanya. Paling tidak rakyat yang ada di dalam rumah itu.” Sambil menunjuk rumahnya sendiri.
Kami yang ada di tepi jalan depan rumah Pak Asdar tak ada lagi yang beri komentar. Kemudian Pak Asdar kembali menyanyikan lagu karangan Ibu Sud itu dan kami semua mengikutinya, meskipun sudah agak lupa liriknya karena sudah lama tak pernah lagi menyanyikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar