FENOMENA PENJUAL LANGSAT DAN KITA
Oleh: Shaifuddin Bahrum
Musim buah langsat setiap tahun
kita nikmati dengan membanjirnya buah yang terasa asam dan manis ini di kota
Makassar. Buah ini datang dari berbagai daerah, baik dari utara kota Makassar seperti
Polopo, Luwu, Luwu Timur, dan Luwu utara, maupun yang juga datang dari Polewali
Mandar dan sekitarnya. Buah langsat ini juga datang dari berbagai daerah yang
ada di sebelah selatan seperti dari Bantaeng dan Bulukkumba.
Buah langsat yang berdatangan di
Kota Makassar ini membuat buah ini membanjir dan dijual diberbagai tempat
strategis di Makassar. Harganyanya mengalami fluktuasi sesuai dengan banyaknya
buah yang masuk ke Makassar. Pada awal musim buah biasanya dijual dengan harga
Rp. 10.000, perkilogramnya, lama kelamaan turun menjadi Rp.7.500, dan kemudian
dijual Rp. 10.000. perdua kilo. Akan tetapi jika sudah semakin banyak maka para
pedagang membanting harga menjadi Rp. 10.000 per tiga kilo, bahkan sampai
perlima kilo.
Penurunan harga tersebut selalu
menggembirakan para konsumen dan terus menikmati buah langsat hingga akhir
musim. Sekalipun banyak konsumen yang mempertanyakan harga yang murah tersebut.
Apakah timbangannya benar? Sehingga ketika kembali dan pulang ke rumah konsumen
menimbangnya kembali dengan timbangan yang benar, dan ternyata
kecurigaan-kecurigaan mereka benar. Langsat yang mereka beli ternyata tidak
sesuai dengan berat timbangan seperti apa yang dikatakan penjualnya. Mereka
merasa tertipu dengan timbangan penjual langsat.
Akan tetapi anehnya, langsat itu
dikonsumsi habis dan keesokan harinya mampir lagi membeli langsat ditempat yang
lain dengan model penjualan yang sama. Meskipun dengan ngomel-ngomel sedikit
merekapun membeli dan menikmatinya. Pada hari yang lain juga kembali membeli
langsat dengan harga yang sama dengan penuh “permakluman” dan tidak banyak
komentar lagi. Penjual langsatpun menjual langsatnya dengan mengatakan
Rp.10.000 per empat atau perlima kilo. Konsumen diam menerima langsatnya
setelah membayarnya Rp. 10.000,- tanpa kata dan dibibirnya sedikit senyum
setelah mengambil tiga biji lagi untuk dicobanya sambil berjalan pergi.
Pejual langsat telah merasa
nyaman menjual langsatnya dengan harga dan dengan timbangan yang diselewengkan.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah
penyelewengan dan telah memanipulasi timbangannya. Tetapi dia tidak merasa
risih atau bersalah dan bahkan sudah merasa wajar-wajar saja. Karena konsumenpun tidak memprotesnya, sekalipun
mereka menyadari bahwa mereka sudah dibohongi, ditipu oleh penjual langsat.
Bahkan pihak pemerintah dalam
hal ini Badan Meterologi yang mengawasi tera kevalidan alat ukur seperti
timbangan juga diam saja dan tidak memberi teguran kepada penjual langsat
tersebut. Mungkin mereka menganggap hal ini masalah kecil saja dan menyangkut
masalah orang kecil pula. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa ini adalah
pembiaran terhadap pelaku pembohongan secara massal.
Permakluman yang terjadi dari semua pihak (penjual, pembeli, dan
pemerintah) membuat kebohongan ini hadir ditengah-tengah kita dan berlangsung
secara wajar saja. Seolah-olah jika kebohongan kita maklumi bersama maka hal
itu menjadi “sah” adanya.
Permakluman
Kebohongan
Fenomena penjual langsat ini
sesungguhnya hanyalah gambaran kecil yang terang benderang di depan mata kita.
Sesungguhnya fenomena permakluman terhadap ketidakjujuran/ kebohongan itu sudah
banyak terjadi diberbagai lini kehidupan/aktifitas kita sebagai warga sosial
dan warga negara. Di dalam masyarakat kita dari tingkat bawah hingga tingkat
atas telah terjadi permakluman-permakluman atas berbagai kebohongan atau
ketidakjujuran. Hal ini terjadi antara penjual dan pembeli, pelayan dan
dilayani, pimpinan dan bawahan, dan lain-lainnya.
Sebagai contoh kecil, jika kita
mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kantor lurah atau kecamatan.
Kita tahu mengurus surat semacam ini
tidak ada aturan pungutan administrasi di kedua kantor tersebut. Tetapi setiap
kali kita mengurusnya petugas di kantor kelurahan dan kecamatan selalu meminta
uang administrasi Rp.200.000 sampai Rp.300.000,- yang mengatas namakan
sumbangan ke pak lurah atau pak camat. Petugas akan berkata “ sebenarnya tidak
standar biayanya tetapi terserah saja Bapak/Ibu berapa yang akan disumbangkan
ke pak lurah atau pak camat...”
Tetapi jika anda membayar lebih
rendah misalnya Rp. 150.000,- maka petugas akan berkata: “cukupkanlah
Rp.200.000...!”. Maka kitapun dengan serta-merta menambahkan Rp. 50.000, lagi,
dan petugas tidak memberikan kita tanda terima.
Setelah itu kita pergi meninggalkan
kantor lurah dan kantor camat tanpa protes, tanpa kata-kata penolakan lagi.
Kitapun maklum dengan kondisi ini dan dalam arti lain kita memaklumi pungutan
liar tersebut. Kita bahkan tidak pernah menceritakan hal ini kepada
orang-orang.
Contoh lain terjadi
dijalan-jalan dengan petugas di sana yang menahan kendaraan kita, lalu kita
lolos setelah kita dimintai bayaran sejumlah uang yang tidak mengikat tetapi
tertentu jumlahnya (seakan-akan sudah disepakati). Jika kendaraan kita motor
jumlahnya berbeda jika kita berkendaraan mobil. Jenis mobilpun tertentu jumlah
bayarannya (mobil pribadi, mewah, truk angkutan dan angkot).
Dalam melakukan tender dan
pelaksanaan proyek juga permakluman atas ketidakjujuran (penyimpangan aturan)
juga terjadi. Misalnya pemberian upeti kepada pimpro atau pimpinan pemberi
pekerjaan oleh calon pemenang tender dengan kata yang dipermanis “sebagai tanda
terima kasih”.
Di pengadilan juga masih ramai terjadi
kasak-kusut jual-beli perkara oleh hakim atau jaksa tertentu yang diatur oleh
pihak-pihak ketiga agar permainan berjalan “cantik”. Bahkan dalam dunia
pendidikan anak-anak kita masih dipertontonkan hal-hal buruk seperti itu dan
kemudian dibuat seolah-olah hal yang wajar-wajar saja.
Maka tidak heran jika belakangan
banyak terungkap kasus-kasus penyelewengan
seperti yang dilakukan Gayus dan kawan-kawannya di dunia perpajakan,
Nazaruddin dan kawan-kawannya di dunia politik dan proyek wisma atlit.
Sesungguhnya masih banyak hal yang terjadi permakluman kebohongan dan
penyelewengan yang ditutup rapi oleh pelaku dan korbannya (atau tidak merasa
atau memaklumi dikorbankan).
Fenomena penjual langsat ini
juga terjadi di pemerintahan ditingkat pusat dan daerah dengan DPR dan DPRD dalam hal penetapan anggaran. Antara
pembayar dan yang dibayar masing-masing diam dan memaklumi jual beli langsat
tidak sesuai yang mereka lakukan. Bahkan
kebohongan-kebohongan yang dilakukan ditutupi bersama seolah-olah kedua belah
pihak sudah melakukan hal yang wajar-wajar saja.
Jika kita memiliki maksud baik untuk
memperbaiki kehidupan, baik kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara maka sudah seharusnya tidak membiarkan terjadi pembohongan di tengah
kita.
5 komentar:
ass. menurut bapak sendiri, bagaimanakah solusi terbaik untuk menghilangkan ketidakjujuran yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak pemerintah, sebab jika ini terus dibiarkan terjadi maka sistem pemerintahan kita tidak akan bisa baik?
Assalamu Alaikum Wr.Wb....
bagaimana cara kita menentang pemungutan-pemungutan liar yang sering terjadi di tengah masyarakat, yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pihak yang berwenang,sedangkan sebagian besar masyarakat merasa takut untuk menentang atau memprotes kebijakan itu????
(JUMASIAH, KELAS VI C, 105 33 5636 09, BAHASA DAN SASTRA INDONESIA)
ASSALAMU ALAIKUM. APA CARA TERBAIK BISA DILAKUKAN AGAR PUNGUTAN LIAR TIDAK TERJADI? SUNGGUH BARU SAYA SADARI TENTANG KECURANGAN PENJUAL LANGSAT TERHADAP KONSUMEN. (MASKUR, 10533 5658 09, VI.C)
apa yang menyebapkan terjadinya sikap acuh dan pemakluman terhadap fenomena pelanggaran yang terjadi di lingkungan masyarakat dari semua pihak (penjual, pembeli, dan pemerintah)? YUSRAN
itulah budayah bangsa indonesia yang selalu acuh tak acuh terhadap kebohongan-kebohongan yang ada.
(ANDI RISWAN)
Posting Komentar