HINDU TO LOTANG DI AMPARITA, SIDRAP
Shaifuddin Bahrum
Shaifuddin Bahrum
Bergegas menuju Perrinyameng, membawa sesajian dibalik sarung mereka berwarna merah.
Abad ke 17, Islam menjadi agama resmi di hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, tidak terkecuali Kerajaan Wajo (1610). Ketika mengislamkan negeri Wajo maka dengan serta merta Matoa Wajo ketika itu langsung mengistruksikan kepada rakyatnya untuk memeluk agama yang baru tersebut. Namun tidak semua rakyat Wajo mematuhi perintah rajanya itu . Sekelompok masyarakat yang tinggal di kampung Wani ingin mempertahankan kepercayaan yang sudah dianutnya secara turun temurun sejak nenek moyangnya. Mereka enggan beralih kepercayaan, meskipun itu sudah menjadi perintah raja.
Melihat pembangkangan orang Wani maka Matoa Wajo mengusir orang-orang tersebut keluar dari kampungnya, dan tidak memperbolehkan mereka tinggal dalam wilayah kerajaan Wajo. Orang-orang Wani kemudian keluar meninggalkan kampungnya secara bersama-sama. Mereka terbagi atas dua rombongan yang dipimpin oleh I Paqbere dan I Goliga.
Setelah berhari-hari berjalan ia melewati beberapa kerajaan di luar Wajo dan meminta untuk bermukin di wilayah tersebut akan tetapi tak ada yang memberinya lahan, lantaran kerajaan-kerajaan Bugis waktu itu sudah menerima Islam. Akhirnya orang-orang Wani ini memasuki wilayah Kerajaan Amparita yang merupakan bagian Kerajaan Sidenreng. Raja di kerajaan Sidenreng bergelar Addatuang. Orang-orang Wani pun yang sudah kelelahan dan kelaparan setelah berjalan berhari-hari meminta izin kepada raja agar diperbolehkan tinggal di daeranya.
Meskipun Kerajaan Sidenreng sudah memeluk Islam (1609) setahun lebih dulu dari Kerajaan Wajo akan tetapi Addatuang Sidenreng berbaik hati memberikan tempat tinggal di bagian selatan kerajaan ini yang berada dalam wilayah kerajaan kecil Amparita. Pada waktu itu meskipun orang Amparita sudah memeluk agama Islam akan tetapi masih banyak juga yang masih tetap mempertahankan kepercayaan lama mereka yang animism dan dinamisme. Agama Islam diterima sebagai perintah raja, sehingga dalam kehidupan mereka tidak melaksanakan syariat yang diajarkan dalam agama Islam. Kelompok ini bertempat tinggal di sebelah selatan jalan raya (benteng) dalam kerajaan.
Orang-orang yang bertempat tinggal di bagian selatan kerajaan Sidenreng dan Amparita di sebut sebagai Tolotang (to = orang, lotang = selatan). Orang To Lotang dikenal dua kelompok. Kelompok pertama adalah Tolotang Towani dan Kedua adalah Tolotang Benteng yang menganut agama Islam.
Tolotang Towani yang diterima di Amparita tidak di perintahkan untuk memeluk agama Islam akan tetapi diperintahkan dua hal yakni: untuk menghargai penganut agama Islam dan agar melaksanakan pengurusan kematian dan perkawinannya secara Islam. Kedua hal tersebut diterima dengan baik oleh kaum pendatang tersebut.
Pada awalnya mereka dapat hidup secara damai dengan masyarakat di sekelilingnya, namun kemudian terjadi berbagai intimidasi yang diakukan oleh berbagai pihak. Baik dari kalangan pemerintakan/ kerajaan maupun dari kaum agamawan (Islam). Akan tetapi Towani tetap bertahan pada keyakinannya dan melaksanakan berbagai upacara-upacara ritualnya.
Sejak tahun 1966, kepercayaan orang Tolotang kemudian di akui sebagai salah satu agama setelah ia terdaftar sebagai salah satu sekte dalam agama Hindu. Pengakuan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, No.2 Tahun 1966, tertanggal 6 Oktober 1966. Surat Keputusan tersebut di sempurnakan kemudian dengan Surat Keputusan No. 6 Tahun 66, tertanggal 16 Desember 1966.
Sebagai sebuah agama yag resmi diakui oleh Negara maka orang To Lotang kemudian sudah dapat melakukan berbagai upacara ritualnya secara terbuka. Upacara-upacara tersebut antara lain: Upacara Sipulung, Tudang Sipulung, Mappenreq Nanre, dan lain lain sebagainya. Setiap tahun selalu saja ada upacara yang digelar di daerah Amparita dan sekitarnya, misalnya di Otting dan Bacukiki (masuk wilayah Kota Pare-pare).
Umat Hindu To Lotang Hikmad mengikuti upacara Ritual Sipulung di Perrinyameng
Upacara Sipulung
Salah satu upacara yang cukup besar adalah upacara Sipulung. Upacara ini jika diterjemahkan akan berarti berkumpul. Acara ini dilaksanakan setiap tahun, dan waktunya ditentukan dalam sidang adat (tudang sipulung) yang dihadiri oleh para Uwaq dan pemuka masyarakat lainnya.
Acara Sipulung pada tahun ini (2010) dilaksanakan pada 24 Januari yang lalu. Masyarakat penganut Hindu To Lotang yang mengikuti acara ini diperkirakan berjumlah 20 ribu orang yang datang dari berbagai daerah di daerah Sidrap dan bhkan dari berbagai daerah di Indonesia.
Selain umat Hindu To Lotang, juga hadir sejumlah undangan antara lain Muspida Kabupaten Sidrap, anggota DPRD Sidrap, Ketua dan Pengurus Parisada Hindu Dharma Sulawesi Selatan, dan lain-lainnya. Panitia sengaja mengundang para pejabat tersebut hadir dalam acara ini sebagai suatu persaksian dan keikut sertaan mereka dalam upacara tersebut.
Dari Kiri Ke kanan: La Panca (Tokoh Masyarakat To Lotang, Anggota DPRD Sidrap), Dharmayasa (Pengurus Parisada Hindu Dharma Sulsel), Budiana Setiawan (peneliti Depbudpar RI), A. Maryam (Peneliti BPSNT Makassar), bersama Penulis.
Berbagai tahapan dilakukan oleh masyarakat To Lotang dalam menyambut upacara ritual tersebut. Puncak acara adalah ziarah dan upacara ritual ke Makam I Paqbere di Desa Perrinyameng, Kelurahan Amparita. Para penganut berkumpul dan duduk di atas rumput di bawah rindangnya pepohonan dengan penuh ketenangan dan rasa khikmat mereka mengikuti upacara ritual itu yang dipimpin oleh para Uwaq mereka.
(INFORMASI LEBIH LANJUT BISA DITANYAKAN MELALUI KOMENTAR ATAU LANGSUNG KONTAK VIA TELPN ATAU FASILITAS LAINNYA YANG TERSEDIA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar