Sabtu, 21 April 2012


FENOMENA  PENJUAL  LANGSAT  DAN  KITA
Oleh: Shaifuddin Bahrum
Musim buah langsat setiap tahun kita nikmati dengan membanjirnya buah yang terasa asam dan manis ini di kota Makassar. Buah ini datang dari berbagai daerah, baik dari utara kota Makassar seperti Polopo, Luwu, Luwu Timur, dan Luwu utara, maupun yang juga datang dari Polewali Mandar dan sekitarnya. Buah langsat ini juga datang dari berbagai daerah yang ada di sebelah selatan seperti dari Bantaeng dan Bulukkumba.
Buah langsat yang berdatangan di Kota Makassar ini membuat buah ini membanjir dan dijual diberbagai tempat strategis di Makassar. Harganyanya mengalami fluktuasi sesuai dengan banyaknya buah yang masuk ke Makassar. Pada awal musim buah biasanya dijual dengan harga Rp. 10.000, perkilogramnya, lama kelamaan turun menjadi Rp.7.500, dan kemudian dijual Rp. 10.000. perdua kilo. Akan tetapi jika sudah semakin banyak maka para pedagang membanting harga menjadi Rp. 10.000 per tiga kilo, bahkan sampai perlima kilo.
Penurunan harga tersebut selalu menggembirakan para konsumen dan terus menikmati buah langsat hingga akhir musim. Sekalipun banyak konsumen yang mempertanyakan harga yang murah tersebut. Apakah timbangannya benar? Sehingga ketika kembali dan pulang ke rumah konsumen menimbangnya kembali dengan timbangan yang benar, dan ternyata kecurigaan-kecurigaan mereka benar. Langsat yang mereka beli ternyata tidak sesuai dengan berat timbangan seperti apa yang dikatakan penjualnya. Mereka merasa tertipu dengan timbangan penjual langsat.
Akan tetapi anehnya, langsat itu dikonsumsi habis dan keesokan harinya mampir lagi membeli langsat ditempat yang lain dengan model penjualan yang sama. Meskipun dengan ngomel-ngomel sedikit merekapun membeli dan menikmatinya. Pada hari yang lain juga kembali membeli langsat dengan harga yang sama dengan penuh “permakluman” dan tidak banyak komentar lagi. Penjual langsatpun menjual langsatnya dengan mengatakan Rp.10.000 per empat atau perlima kilo. Konsumen diam menerima langsatnya setelah membayarnya Rp. 10.000,- tanpa kata dan dibibirnya sedikit senyum setelah mengambil tiga biji lagi untuk dicobanya sambil berjalan pergi.
Pejual langsat telah merasa nyaman menjual langsatnya dengan harga dan dengan timbangan yang diselewengkan. Dia menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah penyelewengan dan telah memanipulasi timbangannya. Tetapi dia tidak merasa risih atau bersalah dan bahkan sudah merasa wajar-wajar saja. Karena  konsumenpun tidak memprotesnya, sekalipun mereka menyadari bahwa mereka sudah dibohongi, ditipu oleh penjual langsat.
Bahkan pihak pemerintah dalam hal ini Badan Meterologi yang mengawasi tera kevalidan alat ukur seperti timbangan juga diam saja dan tidak memberi teguran kepada penjual langsat tersebut. Mungkin mereka menganggap hal ini masalah kecil saja dan menyangkut masalah orang kecil pula. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa ini adalah pembiaran terhadap pelaku pembohongan secara massal.
Permakluman yang  terjadi  dari semua pihak (penjual, pembeli, dan pemerintah) membuat kebohongan ini hadir ditengah-tengah kita dan berlangsung secara wajar saja. Seolah-olah jika kebohongan kita maklumi bersama maka hal itu menjadi “sah” adanya.
Permakluman Kebohongan
Fenomena penjual langsat ini sesungguhnya hanyalah gambaran kecil yang terang benderang di depan mata kita. Sesungguhnya fenomena permakluman terhadap ketidakjujuran/ kebohongan itu sudah banyak terjadi diberbagai lini kehidupan/aktifitas kita sebagai warga sosial dan warga negara. Di dalam masyarakat kita dari tingkat bawah hingga tingkat atas telah terjadi permakluman-permakluman atas berbagai kebohongan atau ketidakjujuran. Hal ini terjadi antara penjual dan pembeli, pelayan dan dilayani, pimpinan dan bawahan, dan lain-lainnya.
Sebagai contoh kecil, jika kita mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kantor lurah atau kecamatan. Kita  tahu mengurus surat semacam ini tidak ada aturan pungutan administrasi di kedua kantor tersebut. Tetapi setiap kali kita mengurusnya petugas di kantor kelurahan dan kecamatan selalu meminta uang administrasi Rp.200.000 sampai Rp.300.000,- yang mengatas namakan sumbangan ke pak lurah atau pak camat. Petugas akan berkata “ sebenarnya tidak standar biayanya tetapi terserah saja Bapak/Ibu berapa yang akan disumbangkan ke pak lurah atau pak camat...”
Tetapi jika anda membayar lebih rendah misalnya Rp. 150.000,- maka petugas akan berkata: “cukupkanlah Rp.200.000...!”. Maka kitapun dengan serta-merta menambahkan Rp. 50.000, lagi, dan petugas tidak memberikan kita tanda terima.
Setelah itu kita pergi meninggalkan kantor lurah dan kantor camat tanpa protes, tanpa kata-kata penolakan lagi. Kitapun maklum dengan kondisi ini dan dalam arti lain kita memaklumi pungutan liar tersebut. Kita bahkan tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang-orang.
Contoh lain terjadi dijalan-jalan dengan petugas di sana yang menahan kendaraan kita, lalu kita lolos setelah kita dimintai bayaran sejumlah uang yang tidak mengikat tetapi tertentu jumlahnya (seakan-akan sudah disepakati). Jika kendaraan kita motor jumlahnya berbeda jika kita berkendaraan mobil. Jenis mobilpun tertentu jumlah bayarannya (mobil pribadi, mewah, truk angkutan dan  angkot).
Dalam melakukan tender dan pelaksanaan proyek juga permakluman atas ketidakjujuran (penyimpangan aturan) juga terjadi. Misalnya pemberian upeti kepada pimpro atau pimpinan pemberi pekerjaan oleh calon pemenang tender dengan kata yang dipermanis “sebagai tanda terima kasih”.
Di pengadilan juga masih ramai terjadi kasak-kusut jual-beli perkara oleh hakim atau jaksa tertentu yang diatur oleh pihak-pihak ketiga agar permainan berjalan “cantik”. Bahkan dalam dunia pendidikan anak-anak kita masih dipertontonkan hal-hal buruk seperti itu dan kemudian dibuat seolah-olah hal yang wajar-wajar saja.
Maka tidak heran jika belakangan banyak terungkap kasus-kasus penyelewengan  seperti yang dilakukan Gayus dan kawan-kawannya di dunia perpajakan, Nazaruddin dan kawan-kawannya di dunia politik dan proyek wisma atlit. Sesungguhnya masih banyak hal yang terjadi permakluman kebohongan dan penyelewengan yang ditutup rapi oleh pelaku dan korbannya (atau tidak merasa atau memaklumi dikorbankan).
Fenomena penjual langsat ini juga terjadi di pemerintahan ditingkat pusat dan daerah dengan DPR dan  DPRD dalam hal penetapan anggaran. Antara pembayar dan yang dibayar masing-masing diam dan memaklumi jual beli langsat tidak sesuai yang mereka lakukan.  Bahkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan ditutupi bersama seolah-olah kedua belah pihak sudah melakukan hal yang wajar-wajar saja.
Jika kita memiliki maksud baik untuk memperbaiki kehidupan, baik kehidupan sosial maupun kehidupan  bernegara maka sudah seharusnya  tidak membiarkan terjadi pembohongan di tengah kita.

5 komentar:

3131 mengatakan...

ass. menurut bapak sendiri, bagaimanakah solusi terbaik untuk menghilangkan ketidakjujuran yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak pemerintah, sebab jika ini terus dibiarkan terjadi maka sistem pemerintahan kita tidak akan bisa baik?

jum mengatakan...

Assalamu Alaikum Wr.Wb....
bagaimana cara kita menentang pemungutan-pemungutan liar yang sering terjadi di tengah masyarakat, yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pihak yang berwenang,sedangkan sebagian besar masyarakat merasa takut untuk menentang atau memprotes kebijakan itu????
(JUMASIAH, KELAS VI C, 105 33 5636 09, BAHASA DAN SASTRA INDONESIA)

maskur mengatakan...

ASSALAMU ALAIKUM. APA CARA TERBAIK BISA DILAKUKAN AGAR PUNGUTAN LIAR TIDAK TERJADI? SUNGGUH BARU SAYA SADARI TENTANG KECURANGAN PENJUAL LANGSAT TERHADAP KONSUMEN. (MASKUR, 10533 5658 09, VI.C)

jus mengatakan...

apa yang menyebapkan terjadinya sikap acuh dan pemakluman terhadap fenomena pelanggaran yang terjadi di lingkungan masyarakat dari semua pihak (penjual, pembeli, dan pemerintah)? YUSRAN

Anonim mengatakan...

itulah budayah bangsa indonesia yang selalu acuh tak acuh terhadap kebohongan-kebohongan yang ada.
(ANDI RISWAN)